Memperkuat Peran Perempuan demi Wujudkan Kebijakan Inklusif

2 weeks ago 10
Memperkuat Peran Perempuan demi Wujudkan Kebijakan Inklusif Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Women, Peace and Security di Jakarta, Rabu (26/2).(Dok. Istimewa )

KEBERADAAN perempuan dalam parlemen semakin menunjukkan peran strategis dalam memperjuangkan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Ketua Yayasan Vanita Naraya, Diah Pitaloka menyebut perempuan bukan sekadar pelengkap di parlemen, melainkan berposisi taktis dalam penyusunan kebijakan, politik anggaran, hingga isu ketahanan negara.

Ia menyoroti pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik anggaran. Menurutnya, keseimbangan kekuasaan dalam alokasi anggaran negara perlu dikaji dari berbagai perspektif, termasuk dari sudut pandang kelompok afirmatif seperti perempuan dan disabilitas.

"Hari ini publik semakin sadar tentang pentingnya proporsi anggaran negara yang adil. Ini menunjukkan betapa pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Saya percaya perempuan punya peran sentral dalam demokrasi hari ini," ujarnya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Women, Peace and Security di Jakarta, Rabu (26/2).

Sementara itu, anggota DPD RI, Badikenita Putri Sitepu menegaskan, keterlibatan perempuan dalam parlemen tidak boleh hanya terpaku pada kuota 30%. Menurutnya, perempuan harus mengambil peran sebagai penyeimbang dalam pengambilan kebijakan.

"Kita harus menghilangkan mindset bahwa perempuan hanya diberi 30% porsi. Sebaliknya, kita harus menekankan pentingnya keseimbangan antara laki-laki dan perempuan dalam politik," ujar Badikenita.

Selain itu, Badikenita juga menekankan, perempuan di parlemen perlu memiliki kapasitas dan kesiapan menghadapi berbagai tantangan, termasuk dalam kebijakan keamanan dan pertahanan.

"Kita harus mulai menyuarakan keseimbangan yang sesungguhnya dalam sistem politik, agar Indonesia bisa mencapai kondisi yang lebih adil dan makmur pada 2045," tandasnya.

Sementara itu, Kepala Laboratorium Indonesia 2045 (Lab 45), Jaleswari Pramodhawardani menegaskan, perempuan memiliki peran strategis dalam upaya perdamaian, tetapi sering kali dikecualikan dalam proses formal. 

“Ada paradoks dalam resolusi konflik, di mana perempuan menjadi salah satu kelompok sipil yang paling terdampak, tetapi peran mereka sering kali dikecualikan dalam proses formal,” ujarnya.

Jaleswari menjelaskan bahwa konflik memiliki dimensi gender yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan, terutama dalam akses terhadap sumber daya dan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya lensa gender dalam proses perundingan damai.

Untuk itu, dia mengajak untuk memperkuat partisipasi perempuan dalam perdamaian di tingkat lokal hingga internasional.

“Kita harus bergerak dari sekadar rencana ke aksi nyata. Regulasi, kebijakan pemerintah, dan dukungan masyarakat sipil harus berjalan seiring untuk memastikan bahwa perempuan benar-benar memiliki ruang dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan,” pungkasnya. (I-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |