
PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatatkan pada 2024 pemain judi online usia di bawah 10 tahun mencapai 2% dari pemain, dengan total 80.000 orang. Sementara data ECPAT pada 2023 menunjukkan, 2% anak-anak yang menggunakan internet berusia 12-17 tahun di Indonesia adalah korban kasus-kasus eksploitasi dan pelecehan seksual daring. Di luar itu, banyak kasus adiksi gim online yang mengganggu kesehatan fisik dan mental anak.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Adi Leksono menegaskan bahwa pemerintah harus melakukan tindakan terhadap hal ini. “Pemerintah harus <i>take down<p> aplikasi atau <i>website<p> yang jelas biasa memproduksi konten yang mengandung unsur judi online dan kekerasan yang mengganggu tumbuh kembang anak,” ungkapnya kepada <i>Media Indonesia<p>, Minggu (11/5).
Lebih lanjut, pembatasan akses Internet kepada anak tentu juga dikatakan harus tetap memperhatikan hak akses informasi bagi anak, dengan menerapkan Early Warning System (EWS), memperkuat literasi digital anak, memperkuat karakter anak, sehingga anak dengan sendirinya mampu kontrol diri terhadap konten atau aplikasi yang layak diakses atau tidak. “Selain itu litetasi digital juga perlu diperkuat kepada keluarga dan sekolah, agar keduanya mampu mendeteksi dini aktivitas digital anak, dengan menautkan email orangtua/guru ke aplikasi anak, memeriksa historis akses digital anak,” ujar Aris.
PENGUATAN ORANGTUA
Secara terpisah, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan bahwa persoalan ini membutuhkan penguatan kemampuan orangtua untuk mampu mengasuh dan mendampingi anak-anaknya di ruang digital. “Perlu juga perkuat elastisitas anak agar mampu menghindari diri dari pengaruh negatif digital,” ujar Pribudiarta.
Saat ini Kementerian PPPA bersama kementerian dan lembaga lainnya juga sedang menyusun Perpres Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring yang menjadi norma hukum untuk pedoman perlindungan anak digital.
“Saat ini juga telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dalam Pelindungan Anak atau PP Tunas untuk memastikan adanya ekosistem penyelenggaraan digital yang ramah anak,” jelasnya.
Sementara itu, Plh. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kementerian PPPA, Indra Gunawan menegaskan komitmen Kementerian PPPA dalam melindungi anak-anak dari ancaman dunia digital.
“Keamanan digital bagi anak-anak harus menjadi prioritas utama karena berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) lebih dari 15 ribu anak telah menjadi korban kekerasan seksual daring. Selain itu, anak-anak juga menghadapi ancaman lain, seperti judi online, kecanduan gim, dan eksploitasi seksual anak,” tuturnya dalam Peringatan Safer Internet Day 2025. (Des/H-1)