
Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) menekankan pentingnya peran kepemimpinan dalam menciptakan perdamaian berkelanjutan. Pesan tersebut disampaikan melalui Kuliah Kepemimpinan ERIA School of Government yang menghadirkan Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen, Presiden Senat Kamboja, sebagai pembicara utama.
Dalam kuliah tersebut, Samdech Techo Hun Sen menceritakan perjalanan Kamboja menuju rekonsiliasi nasional, dan bagaimana pendekatan dialog serta penyelesaian politik menjadi kunci bagi stabilitas dan pembangunan jangka panjang negara tersebut.
Dean and Managing Director ERIA School of Government, Nobuhiro Aizawa, menyampaikan rasa hormat karena bisa menyambut Samdech Techo. Ia mengatakan bahwa pengalaman Kamboja dalam membangun perdamaian memberikan kontribusi penting bagi kestabilan kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
“Sebagai pengkaji Asia Tenggara, saya percaya bahwa salah satu alasan kita bisa merasakan manfaat dari situasi damai saat ini adalah karena keberhasilan proses rekonsiliasi di Kamboja. Tanpa kepemimpinan Samdech Techo dan ketangguhan rakyat Kamboja melewati masa kelam 1970-an, kawasan ini mungkin tidak akan seaman sekarang,” ujar Aizawa dalam sambutannya di kantor ERIA, Jakarta, Selasa (6/5) .
Ia juga menekankan pentingnya mendokumentasikan dan membagikan pengalaman kepemimpinan kepada generasi berikutnya. Pihaknya percaya bahwa pengalaman seperti itu sangat berharga untuk membentuk pemimpin masa depan yang punya komitmen terhadap perdamaian, kemakmuran, dan kerja sama kawasan.
Sementara itu, Presiden ERIA, Tetsuya Watanabe, mengapresiasi peran besar Samdech Techo Hun Sen dalam membawa Kamboja keluar dari konflik menuju era perdamaian dan pembangunan.
“Kuliah ini mengajak kita melihat kembali bagaimana Kamboja bisa berubah secara luar biasa, dan siapa sosok yang ada di baliknya. Nama Samdech Techo tak bisa dipisahkan dari proses perdamaian Kamboja. Lewat dedikasi, tekad, dan diplomasi selama puluhan tahun, beliau membantu mengubah negara yang dulu dilanda perang menjadi negara yang damai dan terus bertumbuh,” ujar Watanabe.
Dalam pidatonya yang berjudul Perdamaian dan Rekonsiliasi Nasional di Kamboja: Pelajaran bagi Asia Tenggara, Samdech Techo Hun Sen menegaskan bahwa kebijakan win-win yang diusung Kamboja merupakan contoh nyata bagaimana perdamaian yang inklusif dan berkelanjutan bisa diwujudkan.
“Kebijakan itu berhasil mewujudkan perdamaian penuh dan menyatukan kembali wilayah Kamboja pada tahun 1998. Semuanya tanpa pertumpahan darah,” jelasnya.
Ia juga mengenang masa-masa sulit, termasuk keputusannya pada tahun 1977 untuk menyeberang ke Vietnam. Alih-alih mencari suaka, ia memilih meminta bantuan Vietnam untuk membebaskan rakyat Kamboja dari kekejaman rezim saat itu.
Samdech Techo Hun Senjuga menyinggung berbagai tantangan besar setelah Kamboja merdeka pada 7 Januari 1979, mulai dari membangun kembali sistem pemerintahan, menghidupkan kembali perekonomian, hingga memastikan rakyat punya cukup pangan.
“Kami memikul tanggung jawab besar untuk membangun kembali negara dari nol dengan melindungi rakyat, membangun institusi, dan memulihkan ekonomi,” ujarnya.
Selain itu, Samdech Techo Hun Sen juga menyebut peran penting Indonesia dalam proses perdamaian. Samdec Techo Hun Sen menegaskan bahwa perdamaian politik harus dicapai lewat dialog antar sesama warga Kamboja, bukan dengan kekerasan. Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga kesadaran sejarah agar konflik serupa tak terjadi di masa depan. (E-3)