
KANKER kolorektal, yang meliputi kanker usus besar dan rectum, kini menjadi salah satu ancaman kesehatan serius di Indonesia. Berdasarkan data Global Cancer Observatory (Globocan) 2020, kanker ini menempati peringkat keempat jenis kanker terbanyak di Indonesia, dengan 34.189 kasus baru tercatat pada tahun tersebut.
Meskipun selama ini kanker kolorektal lebih banyak menyerang individu berusia di atas 50 tahun, tren terkini menunjukkan bahwa penyakit ini juga semakin banyak ditemukan pada kelompok usia lebih muda.
Data International Agency for Research on Cancer (IARC) mencatat bahwa pada 2022, dari sekitar 25.000 kasus kanker kolorektal di Indonesia, sekitar 1.400 pasien berusia di bawah 40 tahun, termasuk 446 kasus pada rentang usia 20 hingga 29 tahun.
Dengan kata lain, sekitar 1 dari 20 pasien kanker kolorektal di Indonesia saat ini adalah generasi muda. Temuan ini menegaskan bahwa anggapan lama bahwa kanker usus besar hanya menyerang orang tua sudah tidak lagi relevan.
MI/HO--Konsultan Senior dalam bidang Onkologi Medis di Parkway Cancer Centre Zee Ying Kiat
Konsultan Senior dalam bidang Onkologi Medis di Parkway Cancer Centre Zee Ying Kiat mengatakan, selain faktor genetik, perubahan pola hidup modern juga menjadi salah satu faktor pendorong peningkatan kasus pada usia muda.
Pola makan tinggi lemak dan rendah serat, kurangnya aktivitas fisik, konsumsi makanan ultra-proses dan olahan, kebiasaan merokok, serta konsumsi alkohol menjadi kombinasi yang diyakini mempercepat proses peradangan dalam saluran cerna, yang dalam jangka panjang dapat memicu pertumbuhan sel abnormal.
"Kanker kolorektal tidak lagi bisa dianggap sebagai penyakit orang tua. Generasi muda kini juga rentan, dan ini harus menjadi perhatian kita bersama," ujar Zee.
Menurut Zee, kanker kolorektal berkembang dari polip, pertumbuhan kecil yang awalnya jinak di lapisan usus besar atau rectum yang dapat berubah menjadi kanker seiring waktu.
Tantangan utamanya adalah bahwa gejala awal sering kali tidak spesifik, bahkan tak sedikit pasien kanker yang terdiagonis tanpa gejala apapun. Mereka baru mengetahui penyakitnya lewat proses skrining rutin
Padahal, beberapa gejala berikut bisa menjadi gejala awal yang tidak boleh diabaikan, seperti perubahan pola buang air besar baik konstipasi maupun diare yang berkepanjangan, terdapat darah dalam feses, rasa nyeri yang membuat perut terasa tidak nyaman, atau penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
“Gejala-gejala tersebut memang tidak otomatis berarti kanker tapi jika terus berulang maka jangan abaikan segera lakukan pemeriksaan ke dokter,” tuturnya.
Kolonoskopi menjadi gold standard untuk deteksi dini kanker kolorektal. Di Amerika Serikat (AS), usia skrining kini diturunkan dari 50 menjadi 45 tahun, merespons tren usia muda yang terdiagnosis. Singapura masih menetapkan usia 50 tahun, namun diperkirakan akan mengadopsi kebijakan serupa di masa depan.
Jika dilakukan saat masih sehat, kolonoskopi bukan hanya mendeteksi kanker, tetapi juga bisa langsung mengangkat polip atau jaringan abnormal sebelum berkembang menjadi kanker.
Penanganan Terintegrasi: Kunci Efektivitas
Penanganan kanker kolorektal tidak bisa hanya bergantung pada satu spesialis. Dokter bedah, onkolog, ahli patologi, radiolog, hingga ahli gizi dan konselor harus bekerja bersama merancang strategi yang sesuai untuk setiap pasien.
Operasi tetap menjadi langkah utama, khususnya untuk mengangkat bagian usus yang terdampak. Namun karena sel kanker bisa tersebar dalam ukuran mikroskopik, pasien sering kali tetap membutuhkan kemoterapi setelah operasi. Bisa juga dilanjutkan dengan radioterapi, atau terapi target tergantung pada stadium penyakit dan karakteristik tumor.
Dalam dekade terakhir, kemajuan dalam teknologi seperti genomic profiling juga memungkinkan dokter menyesuaikan pengobatan lebih spesifik terhadap profil genetik masing-masing pasien.
Harapan Hidup Penderita Kanker Kolorektal
Tingkat keberhasilan pengobatan dan harapan hidup pasien sangat bergantung pada stadium saat kanker terdeteksi. Bila ditemukan pada stadium I, angka harapan hidup lima tahun bisa mencapai lebih dari 90%.
Pada stadium II, angka ini sedikit menurun menjadi sekitar 70%–75%. Untuk stadium III, peluang bertahan hidup lima tahun berada di kisaran 50%–60%.
Namun, pada stadium IV, atau saat kanker telah menyebar ke organ lain, angka harapan hidup anjlok menjadi hanya sekitar 10%–15%.
Berkat pengobatan yang lebih terpersonalisasi, kini angka harapan hidup bisa meningkat hingga sekitar 30 persen pada sebagian pasien.
“Banyak pasien dan keluarga mengira kanker stadium lanjut adalah vonis mati. Padahal, dengan penanganan yang tepat dan multidisipliner, peluang kesembuhan tetap ada, bahkan di stadium lanjut,” jelas seorang dokter spesialis.
Deteksi dini menjadi kunci utama dalam menekan angka kematian akibat kanker kolorektal. Meskipun rekomendasi skrining rutin biasanya dimulai pada usia 50 tahun, individu muda dengan faktor risiko tinggi, seperti riwayat keluarga kanker kolorektal atau gejala mencurigakan, sangat disarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih awal.
Tes seperti Faecal Immunochemical Test (FIT) dan kolonoskopi terbukti efektif dalam mendeteksi kanker atau polip sebelum berkembang menjadi lebih serius.
Di tengah meningkatnya ancaman kanker kolorektal pada generasi muda, menjaga gaya hidup sehat dan kesadaran untuk melakukan skrining dini menjadi langkah penting yang tidak boleh diabaikan.
Dengan perubahan pola hidup sederhana dan pemeriksaan rutin, risiko kanker kolorektal dapat ditekan, dan peluang kesembuhan pun semakin besar. (Z-1)