
JAMINAN sosial ketenagakerjaan (Jamsostek) memegang peran krusial sebagai benteng perlindungan bagi pekerja yang terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), terutama saat mereka memasuki masa transisi menuju pekerjaan baru.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Mohammad Reza Hafiz Akbar, menegaskan bahwa dalam konteks ketidakpastian global yang dipicu dinamika politik dan ekonomi internasional, kehadiran jaminan sosial ketenagakerjaan yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK) menjadi instrumen vital bagi ketahanan pekerja.
"Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) adalah instrumen yang sangat strategis. Alhamdulillah, Indonesia sudah memilikinya," ujar Reza, Rabu (15/4).
Program JKP memberikan tiga manfaat utama: bantuan uang tunai, akses informasi lowongan kerja, dan pelatihan peningkatan keterampilan. Skema bantuan tunai sebesar 60% dari upah (maksimal Rp5 juta/bulan selama enam bulan) menjadi "nafas tambahan" yang krusial bagi pekerja yang kehilangan penghasilan secara mendadak.
Namun demikian, Reza menyoroti masih terbatasnya akses pekerja terhadap fitur non-tunai seperti pelatihan dan informasi pasar kerja. Ia menekankan pentingnya integrasi data dan sinergi yang lebih kuat antara BPJAMSOSTEK dan Kementerian Ketenagakerjaan agar manfaat JKP tak berhenti pada bantuan uang, tetapi juga memfasilitasi reintegrasi pekerja ke dunia kerja.
Senada, Pengamat Ketenagakerjaan UGM, Tadjudin Nur Efendi, menegaskan bahwa jaminan sosial ketenagakerjaan bukan sekadar penyelamat sementara, melainkan pendorong keberlanjutan ekonomi nasional.
"JKP tidak hanya soal uang tunai. Ini soal menjaga daya beli masyarakat dan mengurangi tekanan sosial akibat PHK, terutama di sektor-sektor rawan seperti tekstil dan elektronik yang terimbas kebijakan proteksionis global seperti tarif impor AS," tegasnya.
Ia pun menggarisbawahi bahwa masa perlindungan enam bulan harus dibarengi dengan perluasan akses pasar kerja dan penguatan program peningkatan keterampilan. “Enam bulan bisa jadi cukup, bisa juga tidak. Semua bergantung pada efektivitas ekosistem kerja pasca-PHK,” tambahnya.
Dari sisi legislatif, Anggota Komisi IX DPR RI, Arzeti Bilbina Setyawan, mengapresiasi kontribusi JKP dalam merespons ancaman PHK dan menjaga stabilitas ekonomi nasional. Namun ia juga menggarisbawahi bahwa efektivitas program ini masih belum optimal, terutama dalam hal durasi perlindungan dan sosialisasi manfaat.
“Realitanya, banyak pencari kerja butuh waktu lebih dari enam bulan, apalagi di sektor formal. Masih banyak juga yang belum tahu bahwa JKP bisa dimanfaatkan untuk pelatihan dan akses lowongan kerja,” ujarnya.
Arzeti mendorong perluasan sosialisasi dan kolaborasi antara BPJAMSOSTEK, Dinas Ketenagakerjaan, dan pelaku industri, agar program ini benar-benar menjawab kebutuhan pekerja terdampak.
Hingga akhir 2024, BPJAMSOSTEK mencatat 13,6 juta peserta telah terdaftar dalam program JKP. Angka ini menunjukkan potensi besar yang, bila dikelola dengan optimal, dapat memperkuat daya tahan sosial dan ekonomi Indonesia dalam menghadapi gelombang PHK yang masih mengancam. (RO/Z-10)