Heterotopia dan Wajah Baru untuk Perpustakaan Berkelanjutan

3 weeks ago 21
MI/Seno MI/Seno(Dok. Pribadi)

DEWASA ini, kita menyadari bahwa masyarakat informasi dengan kemajuan teknologi informasi dan big data telah menjadi tantangan besar bagi perpustakaan. Di satu sisi, kebutuhan akan informasi yang sangat tinggi menjadikan perpustakaan dan pustakawan, yang dekat dengan sumber informasi, berada pada posisi yang diuntungkan dan makin dibutuhkan.

Namun, di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dan internet yang sangat pesat sekaligus menjadikan perpustakaan bukanlah sumber informasi satu-satunya yang dibutuhkan masyarakat saat ini. Ada perubahan dalam interaksi sosial pada masyarakat, dan kebutuhan akan informasi yang cepat serta membeludak.

Revolusi informasi di era digital berdampak pada layanan perpustakaan, kepemilikan sumber-sumber informasi, akses sumber informasi, dan bahkan konstruksi dari perpustakaan. Hal itu yang mesti disadari mereka yang berkecimpung dalam dunia perpustakaan, agar mau segera berbenah diri dalam menghadapi perubahan di masa kini dan masa depan. Artikel ini menawarkan konsep heterotopia sebagai jalan keluar untuk berbenah diri dan merevitalisasi peran perpustakaan di era digital.

MENGEMBANGKAN HETEROTOPIA 

Istilah heterotopia mungkin masih terdengar asing di telinga masyarakat pada umumnya. Istilah tersebut bermula dari Michel Foucault ketika memberikan ceramah berjudul Of Other Spaces (Knight, 2017). Ia mengatakan heterotopia merupakan lawan dari utopia, yang saat itu menjadi obsesi besar di abad ke-19.

Jika utopia merujuk pada hal tak nyata yang merupakan hasil dari imajinasi akan kesempurnaan atau keadaan ideal, heterotopia merujuk pada tempat nyata yang benar-benar ada. Secara sederhana, heterotopia diartikan sebagai tempat nyata yang menghubungkan realitas dengan imajinasi manusia.

Heterotopia menjadi tawaran menarik bagi perpustakaan yang masih dibayang-bayangi cita-cita ideal, dan normativitas moral pendidikan khas abad pertengahan, yang membuat perpustakaan banyak berkutat pada pekerjaan lama dan inovasi yang mandek. Tidak ada yang salah dengan cita-cita luhur ‘mencerdaskan anak bangsa’, tetapi mimpi tersebut terkesan utopis sehingga rasanya sulit untuk diwujudkan.

Diakui atau tidak, selama ini perpustakaan banyak terjebak pada tugas-tugas utopis, yang rasanya sulit untuk dilakukan. Perpustakaan acap kali digambarkan mengemban peran-peran penting dan mulia, seperti 'library is the heart of university', meningkatkan literasi informasi, pembudayaan perilaku gemar membaca dan peran-peran lain yang bermuara pada tujuan besar dalam mencerdaskan anak bangsa, yang semuanya sesungguhnya ialah ‘tugas langit’ yang sulit untuk diwujudkan.

Menghadirkan heterotopia ke dalam tubuh perpustakaan berarti menata kembali peran perpustakaan dalam masyarakat sekaligus membongkar tradisi lama tentang perpustakaan yang membosankan dengan cara menghadirkan ‘alternatif lain’ (Radford & Radford, 2014; Cooke et al, 2006).

Tawaran Foucault ‘menghadirkan heterotopia’ ialah dengan menghadirkan ‘cermin’ yang mampu memantulkan mimpi-mimpi yang utopis ke dalam ruang yang nyata. Foucault sendiri tidak membatasi ‘ruang alternatif’ dengan patokan-patokan tertentu, tetapi karakteristiknya yang berbeda dengan ruang lainnya, yang memberikan pengalaman berbeda kepada pengunjung dari sebelum mereka memasuki perpustakaan.

Moran (2015) mengatakan perpustakaan di tengah masyarakat merupakan gabungan antara pintu darurat, rakit penyelamat, dan festival. Perpustakaan ialah katedral pikiran; rumah sakit jiwa; taman hiburan imajinasi. Pendefinisian tersebut menyiratkan perpustakaan dengan fungsinya yang beragam dan tak semestinya dipisahkan satu fungsi dengan fungsi yang lainnya secara kaku.

Perpustakaan juga semestinya menjadi ruang yang mampu mengemas pengetahuan dan hiburan dalam satu paket sehingga ia tempat pertama yang terlintas di pikiran mahasiswa ketika lelah berkuliah dan belajar, tempat pertama yang terpikir oleh orangtua yang ingin mengenalkan anak mereka pada aktivitas membaca dan bermain, tempat pertama yang terlintas di pikiran komunitas ketika hendak mengadakan kegiatan.

Hadirnya perpustakaan seyogianya menjadi solusi rekreatif bagi permasalahan yang ada di masyarakat, dan tidak hanya tempat belajar. Jika perpustakaan telah berhasil mengembangkan diri sebagai ruang heterotopia semacam itu, niscaya perpustakaan akan menjadi satu-satunya tempat tujuan atau pilihan pertama orang ketika ingin mengisi waktu luang.

Ketika pengelola memosisikan perpustakaan lebih dari sekadar sumber belajar atau sumber informasi, akan terbentuk pikiran yang lebih inovatif tentang bagaimana membuka dan menyediakan layanan perpustakaan dengan muatan heterotopia.

MANAJEMEN PERUBAHAN BERKELANJUTAN

Menghadirkan ruang alternatif di dalam pikiran sebagai wujud penerapan heterotopia perlu sebuah sistem mengelolaan yang baik sehingga inovasi perancangan ruang alternatif tidak mandek pada satu kali perubahan saja. Untuk itu, perpustakaan membutuhkan manajemen perubahan.

Dalam konteks itu, peran perpustakaan tak pelak harus direkonstruksi untuk menghasilkan tata kelola yang mampu menjaga dan bekerja dengan perubahan-perubahan tersebut. Semua pihak, baik itu pemimpin maupun pustakawan, harus berkemauan untuk ‘mendobrak tatanan lama’ untuk menghasilkan inovasi yang baru, yang lebih segar pada layanan perpustakaan (Satyanegara, 2016).

Menginisiasi perubahan dan ruang alternatif di dalam perpustakaan dalam jangka pendek diharapkan mampu menarik minat masyarakat untuk mengunjungi perpustakaan. Sementara itu, dalam jangka panjang yang diharapkan dari perubahan tersebut ialah berkembangnya minat baca dan penguatan literasi informasi pengunjung.

Pengalaman baca yang kaya memungkinkan masyarakat untuk mampu menyaring informasi dengan baik dan mengambil manfaat dari informasi tersebut. Itulah yang disebut dengan nilai guna. Dalam jangka waktu yang lebih panjang, ruang alternatif tersebut diharapkan mampu menstimulasi kreativitas, baik pengunjung maupun pengelola.

Peran manajemen perubahan tidak dapat dihindari untuk kelangsungan hidup dan perkembangan organisasi mana pun (Ik & Azeez 2020). Hal itu disebabkan perubahan telah menjadi bagian hidup dari organisasi, tidak terkecuali perpustakaan. Tidak ada yang bisa baik menghindari maupun menghentikan perubahan (Wang, Olivier & Chen 2020).

Dalam sebuah kajian berjudul Change Management in Libraries: The Case of the University of Ghana Library System (UGLS) telah ditegaskan bahwa organisasi apa pun niscaya akan mampu survive bila mengadakan perubahan. Dalam menghadapi perubahan zaman dan perubahan karakteristik masyarakat yang berbeda dari waktu ke waktu, tentu membutuhkan kesediaan perpustakaan untuk merekonstruksi diri (membangun kembali), melalui program baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Penataan kembali atau rekonstruksi sebuah organisasi akan memakan waktu yang panjang, tenaga yang besar, dan ide-ide kreatif. Untuk itu, dibutuhkan komitmen kuat dan keterlibatan semua pihak di dalam organisasi.

Tujuan atau arah perubahan yang diinginkan harus menjadi statement yang jelas dan dapat dipahami semua pihak sehingga semua orang mampu memaknai dan mengambil peranan masing-masing. “You must be on top of change or change will be on top of you,” kata Mark Victor Hansen.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |