
SUKU Moi merupakan suku asli Tanah Papua yang tinggal di wilayah pesisir Papua Barat Daya. Suku Moi memiliki kearifan lokal yang selaras dengan alam, seperti tradisi Egek yang dilakukan untuk menjaga kelestarian alam.
Hari ini, banyak pendatang membuka akses terhadap berbagai hal dari luar Papua, termasuk pangan dan budaya. Selain itu, eksplorasi terhadap sumber daya alam juga semakin marak terjadi di wilayah Papua. Banyak masyarakat Papua yang mulai berpindah ke kota untuk mencari penghasilan.
Menurut Salsabila Andriana, aktivis dari Lumbung Sagu, mengatakan, sebagian Suku Moi juga turut mengalami pergeseran cara hidup mengikuti modernisasi yang terjadi.
"Ditambah dengan salah satu wilayah Suku Moi yang menjadi pusat kota di Provinsi Papua Barat Daya, yaitu Kota Sorong," ungkapnya, Kamis (24/4).
Untuk membangun pusat kota, wilayah hutan harus dikorbankan. Apabila hutan hilang, sumber pangan masyarakat asli juga hilang. Dengan hilangnya hutan, masyarakat Suku Moi lambat laun meninggalkan kebudayaannya.
Selain modernisasi, minat generasi muda dalam mempraktikkan kebudayaan asli Suku Moi semakin menurun. Tradisi seperti pembuatan Noken, yang telah diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO, kini hanya dikuasai oleh segelintir orang tua. Berbagai makanan tradisional khas Suku Moi sudah hampir tidak pernah dibuat lagi untuk konsumsi sehari-hari. Banyak anak muda yang tidak lagi tertarik untuk mempelajari dan melestarikan tradisi, sehingga terdapat kekhawatiran bahwa budaya ini akan punah dalam beberapa generasi mendatang.
Tidak hanya Noken dan kuliner tradisional, tradisi khas Moi lainnya seperti bercerita rakyat (Dalmus), tari tradisional Aluyen, dan menyanyi tradisional (Kain Kla) juga terancam punah. Dulu, dalmus digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan sejarah suku, namun kini jarang dipraktikkan. Tari Aluyen dan nyanyian tradisional Kain Kla yang dahulu menjadi bagian penting dalam upacara adat, kini hanya dilakukan pada acara-acara tertentu dan semakin jarang diajarkan kepada generasi muda. Kondisi ini mengancam keberlanjutan dan kelestarian identitas budaya Suku Moi yang kaya dan unik.
Hari ini kebudayaan Moi banyak yang telah hilang ditinggalkan masyarakat. Komunitas Sinagi Papua ingin mengembalikan kesadaran bahwa kebutuhan hakiki dari Suku Moi, seperti pangan yang berkualitas dan hidup yang berkelanjutan, bisa didapatkan melalui praktik tradisi dan budaya yang dipraktikkan Orang Moi.
Dengan mengangkat kebudayaan Suku Moi, harapannya dapat mengumpulkan orang-orang Moi yang selama ini terpencar karena wilayah adat Moi yang cukup luas. Ketika berjauhan, orang Moi bisa saja tidak saling mengenal dan menimbulkan potensi konflik antarorang Moi maupun dengan orang-orang dari luar.
Mengangkat kebudayaan mempererat kembali hubungan-hubungan tersebut dan menyelesaikan masalah internal di dalam. Selain itu, melestarikan kebudayaan dapat membantu mengarahkan pemerintah melakukan pembangunan yang selaras dengan alam. F
estival Tumpe Klawalu diadakan untuk menggali potensi-potensi dari tradisi baik nenek moyang orang Moi kemudian diwariskan kepada generasi muda.
Festival Tumpe Klawalu hadir sebagai upaya untuk menghidupkan kembali kebudayaan Suku Moi. Tumpe berarti berkumpul bersama-sama di suatu tempat, sedangkan Klawalu adalah nama kali/sungai yang ada di daerah yang sekarang dikenal sebagai Kampung Klasaman.
Kampung Klasaman merupakan wilayah pertama yang ditempati oleh Suku Moi di daerah yang sekarang menjadi Kota Sorong setelah merantau dari kampung. Festival ini tidak hanya menjadi wadah untuk melestarikan tradisi, tetapi juga sebagai ajang untuk mengedukasi generasi muda tentang pentingnya menjaga warisan budaya.
Melalui berbagai lomba seperti memasak pangan lokal, membuat Noken, bercerita rakyat, tari Aluyen, dan menyanyi tradisional, festival ini bertujuan untuk mengembalikan kebanggaan masyarakat terhadap budaya asli mereka dan memastikan bahwa tradisi ini dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Festival Tumpe Klawalu akan dilaksanakan pada 23-27 April 2025 di Kampung Klasaman, Kota Sorong. Akan ada berbagai lomba kebudayaan seperti lomba menoken, lomba dalmus, lomba kain kla, lomba memasak dan menulis resep, serta lomba tari alen.
Selain itu, ada berbagai pertunjukan seni dan tari tradisional Suku Moi, bazaar UMKM warga Klasaman, serta talkshow seputar kebudayaan Moi dan pariwisata.
Terdapat beberapa talkshow yang telah direncanakan selama festival berlangsung. Pertama, talkshow Budaya Moi & Upaya Pemajuan Kebudayaan” pada Rabu (23/4) dengan narasumber Torianus Kalami (Budayawan Moi), Ketua Komunitas Bahasa Moi & Marrio (Balai Pelestarian Kebudayaan XXIII).
Kedua, Talkshow Klasaman: Dulu, Kini, dan Nanti dengan nrasumber tokoh-tokoh Kampung Klasaman, yakni Jonas Maslibela (sesepuh Kampung Klasaman), Okto Osok, Ruth Osok (Tokoh Perempuan), Moyo Malibela (Tokoh PS MALADUM Pemain Liga & Pelatih Persikos), Ramses (sekretaris Dispora Malibela, Pelatih Maladum), Pdt. Demianus Osok Ketua Klasis Sorong (Senior PS Maladum).
Kemudian ada juga talkshow Alam, Budaya, dan Pariwisata dengan narasumber dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Himpunan Pramuwisata Indonesia PBD, Asosiasi Tour & Travel PBD.
Pada Minggu (27/4) festival akan ditutup dengan pengumuman pemenang lomba dan atraksi Tumpe, atraksi makan bersama. Informasi lebih lanjut bisa mengakses melalui instagram @festival_moi dan Facebook atas nama Tumpe Klawalu. (MS/E-4)