
ENAM mahasiswa asal Batam mengajukan gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini merupakan kelanjutan dari serangkaian aksi demonstrasi dan audiensi yang sebelumnya mereka lakukan di tingkat daerah.
Keenam mahasiswa tersebut tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dan Persatuan Mahasiswa Hukum Batam. Permohonan uji materiil ini diajukan dengan Hidayatuddin sebagai pemohon utama, didampingi oleh Respati Hadinata, serta empat kuasa hukum: Risky Kurniawan, Albert Ola Masan Setiawan Muda, Jamaludin Lobang, dan Otniel Raja Maruli Situmorang.
Risky Kurniawan, yang juga mewakili Student for Judicial Review (SJR), mengatakan bahwa pihaknya telah menerima Akta Pengajuan Pemohon dan Akta Registrasi Perkara Konstitusi dari MK pada 21 dan 25 April 2025.
“Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021, Mahkamah akan menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja sejak permohonan dicatat,” kata dia, Minggu (27/4).
Dalam permohonannya, para mahasiswa tidak hanya meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang TNI inkonstitusional, tetapi juga menuntut ganti rugi sebesar Rp50 miliar kepada DPR RI yang hadir dalam Rapat Paripurna pengesahan UU TNI pada 18 Februari 2025, Rp25 miliar kepada Presiden, dan Rp5 miliar kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, dengan seluruh dana tersebut direncanakan untuk disetorkan ke kas negara.
Selain itu, mereka juga meminta MK menetapkan uang paksa (dwangsom) harian apabila putusan tidak dilaksanakan, yakni Rp25 miliar per hari kepada DPR RI, Rp12,5 miliar per hari kepada Presiden, dan Rp2,5 miliar per hari kepada Baleg DPR RI.
“Hakim Mahkamah Konstitusi wajib menegakkan konstitusi, dan kami ingin memastikan bahwa lembaga negara menghormati prinsip negara hukum,” ujarnya.
Berdasarkan perhitungan 14 hari kerja sejak permohonan diregistrasi, sidang pertama judicial review ini diperkirakan akan digelar pada 8 atau 9 Mei 2025. Keenam mahasiswa tersebut berencana berangkat ke Jakarta dengan biaya pribadi secara kolektif, tanpa dukungan dana dari pihak kampus maupun pemerintah.
Mereka menegaskan bahwa perjuangan ini murni untuk menegakkan keadilan konstitusional dan memperjuangkan prinsip negara hukum di Indonesia. (H-4)