
KOMITE Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyoroti implikasi dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja terhadap pemerintah daerah.
Direktur Eksekutif KPPOD Herman N Suparman mengatakan bahwa efisiensi anggaran justru berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal.
“Penggunaan dari hasil pemangkasan itu diarahkan untuk program prioritas pemerintah pusat. Padahal kita tahu pemerintah daerah itu juga punya program prioritasnya. Bagaimana mungkin kita memindahkan alokasi untuk prioritas daerah kepada program prioritas pemerintah pusat?” ujar Herman kepada Media Indonesia pada Kamis, (20/2).
Selain itu, Herman mengatakan berbagai berbagai regulasi terkait hubungan keuangan pusat dan daerah telah menegaskan bahwa mandatory spending atau sistem anggaran yang di-earmarking oleh pemerintah pusat di beberapa daerah kini semakin meluas hingga 100%.
“Alokasi yang mesti dikeluarkan pemerintah daerah harus berdasarkan pada pemerintah pusat mulai dari belanja pegawai, belanja infrastruktur dan konektivitas, sarana dan prasarana serta beberapa dana alokasi dari pusat itu ditentukan peruntukannya,” jelas Herman.
“Artinya pemerintah daerah itu hanya tinggal menjalankan apa yang sudah menjadi mandat dari pemerintah pusat. Ini adalah bentuk dari sentralisasi, dan bagi kami ini tentu bahaya bagi jangka panjang,” sambungnya.
Herman memaparkan bahwa pemangkasan total anggaran pemerintah daerah sebesar Rp50,59 triliun akan berpengaruh pada sektor-sektor krusial.
Rincian pemotongan tersebut meliputi kurang bayar Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp13,9 triliun, Dana Alokasi Umum sebesar Rp15,6 triliun, Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK) Rp18,3 triliun, Dana Otonomi Khusus Rp509 miliar, Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Rp200 miliar, dan Dana Desa Rp2 triliun.
“Pada UU APBN 2025, besaran DAK fisik itu sekitar Rp36 triliun, di Inpres itu dipotong Rp18,3 triliun, itu hampir setengah. Kalau kita cek lagi satu persatu. DAK fisik itu terkait dengan konektivitas Rp14,5 triliun, DAK fisik bidang irigasi Rp1,7 triliun, kemudian bidang pangan pertanian Rp675 miliar dan juga bidang pangan akuatik sebesar Rp1,3 triliun gitu ya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Herman juga mengkritik keputusan penggunaan dana hasil pemangkasan yang lebih diarahkan ke program prioritas pemerintah pusat, bukan untuk kebutuhan daerah.
“Bagaimana mungkin alokasi untuk prioritas daerah dipindahkan ke program prioritas pusat tanpa melibatkan daerah? Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah semakin kehilangan kewenangan dalam mengatur kebijakan fiskalnya sendiri,” ungkapnya.
Selain itu, Herman menyoroti bahwa efisiensi yang diatur dalam Inpres 1/2025 akan mengganggu belanja infrastruktur serta pelayanan publik di daerah. Ia mencontohkan, pemangkasan anggaran perjalanan dinas berdampak pada instansi seperti Ombudsman yang mengalami kesulitan dalam menindaklanjuti laporan masyarakat karena keterbatasan anggaran.
“Banyak laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman, baik di tingkat nasional maupun daerah. Namun, akibat kebijakan efisiensi ini, instansi pengawasan seperti Ombudsman sulit menjalankan tugasnya karena perjalanan dinas yang menjadi bagian penting dari pengawasan tidak bisa dilakukan,” ujarnya.
Menurutnya, hal ini akan mengganggu stabilitas darah sebab angka ketergantungan tinggi daerah terhadap transfer keuangan dari pusat masih sangat tinggi. Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2020, 88% daerah masih bergantung pada transfer dari pusat, kata dia, hal ini menunjukkan tingkat kemandirian fiskal yang rendah.
Lebih jauh, Herman menjelaskan bahwa saat ini ada wacana untuk memasukkan program pembangunan infrastruktur daerah dalam anggaran pusat. Jika hal ini terjadi, ia menilai sentralistik akan semakin kuat terjadi.
“Ada juga wacana bahwa program infrastruktur daerah itu semuanya akan dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat. Ini juga menurut kami tidak konstruktif untuk kemajuan otonomi daerah dalam memberikan pelayanan publik yang efektif dan efisien,” imbuhnya. (P-4)