
CENTRE for Strategic and International Studies (CSIS) dalam penelitian terbarunya bertajuk Kepala Daerah Terpilih 2025: Kepemimpinan Politik di Tingkat Lokal dan Tantangan untuk Generasi Elite Baru, menyampaikan bahwa calon petahana di Pilkada 2024 tak memiliki jaminan untuk menang.
Ketua Departemen Politik dan Perubahan CSIS, Arya Fernandes memaparkan dari 21 gubernur petahana yang ikut Pilkada 2024, sebanyak 11 calon petahana mengalami kekalahan. Menurutnya, banyak faktor yang menentukan seseorang dapat memenangkan Pilkada 2024.
“Kita menemukan bahwa status petahana atau incumbent itu ternyata belum berpengaruh pada terpilih atau tidak terpilihnya seseorang dalam Pilkada lalu, dari 37 provinsi yang dilaksanakan Pilkada itu, sejumlah incumbent yang juga berasal dari partai besar mengalami kekalahan,” kata Arya di Gedung CSIS, Jakarta, Rabu (19/2).
Arya menjelaskan dari 37 provinsi yang melaksanakan pilkada pada 2024, secara total terdapat 103 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang berlaga. Dari 37 provinsi tersebut, terdapat 21 provinsi yang gubernur incumbent-nya kembali bertarung.
“Dari 21 provinsi yang diikuti kembali oleh gubernur incumbent, 10 gubernur incumbent terpilih untuk periode kedua dan 11 gubernur incumbent mengalami kekalahan. Sementara itu, Wakil gubernur Inkumben ada 4 dimana 1 menang dan 3 orang kalah. Lalu ada 1 provinsi yang gubernur inkumben dan wakil gubernur inkumbennya pecah kongsi, yaitu Sumatera Selatan (Herman Deru vs Mawardi Yahya),” jelasnya.
Arya menyebut bahwa kekalahan petahana terjadi di berbagai daerah, termasuk Sumatera Utara, Bangka Belitung, dan Sulawesi Utara. Bahkan, provinsi yang menjadi basis partai besar seperti PDI Perjuangan (PDIP) juga mengalami kekalahan bagi calon incumbent-nya.
“Meskipun dalam beberapa situasi terutama dalam level gubernur dan kabupaten/walikota, beberapa calon kepala daerah dari generasi baru, misalnya bisa mengalahkan incumbent ketika bertarung dalam pilkada lalu, jadi banyak faktor yg mempengaruhi terpilih tidak terpilihnya seseorang,” tegasnya.
Selain itu, CSIS juga menemukan adanya pergeseran dominasi partai partai politik di pilkada 2024 lalu, terutama yang bergeser dari PDIP dan Golkar, namun sebagian besar provinsi dan sebagian besar daerah daerah di indonesia itu bergeser ke Partai Gerindra,
“Jadi ada pergeseran di daerah, DNA (pola) ini tentu dari sisi pemerintah akan memudahkan eksekusi program program strategis di daerah. Meskipun di daerah relatif tidak ada kelompok-kelompok oposisi dan ini menjadi catatan ke depan,” tukasnya.
Selain itu, Arya mengatakan ada optimisme bahwa akan muncul generasi politik baru yang sebelumnya tidak terasosiasi dengan local strongmen atau dinasti politik itu mulai muncul walaupun belum besar. Kendati demikian, ia memaparkan hampir 65% calon masih memiliki kekerabatan dengan pejabat publik tapi ada peluang munculnya generasi baru di daerah.
“Masih cukup banyak kepala daerah yang terpilih mewakili elite lama atau local strongmen yang memiliki jejaring politik formal dan informal yang panjang di tingkat lokal. Pada saat yang sama, mereka juga terasosiasi dengan kekerabatan politik dan darah dengan pejabat eksekutif dan legislatif yang tengah menjabat,” tuturnya.
CSIS mencatat dari 206 calon kepala/wakil kepala daerah yang maju pada pilkada lalu, terdapat 59 orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat dan tokoh publik. Tipe hubungan kekerabatan dapat dikategorikan suami/istri, kakak/adik, anak, menantu, dan keponakan.
“Secara umum, kontestan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat politik paling banyak ditemukan di wilayah Sulawesi-Gorontalo dibandingkan dengan daerah lain,” jelas Arya.
Kendati demikian, Arya mengemukakan bahwa Pilkada Serentak 2024 telah menunjukkan adanya proses jenjang karir politik pada sebagian besar kepala daerah terpilih di level provinsi, kabupaten dan kota.
“Misalnya sebagian besar kepala daerah gubernur pada saat sebelumnya ada kada level lebih rendah, ada bupati dan walikota serta wakil gubernur dan anggota legislatif. Jadi sirkulasi kepemimpinan di tingkat lokal itu terjadi, para bupati wakil bupati, walikota, wakil walikota dan DPRD di daerah mengalami kenaikan karir politik, dan ini tentu kabar baik, terjadi proses sirkulasi kepemimpinan di daerah,” jelasnya. (Dev/P-2)