
BUTIRAN-butiran merah muda berjumlah jutaan tak terkira tertampung dalam sebuah ember berukuran 10 liter ketika arunika memancarkan rona jingga di langit. Butiran berukuran hampir seperti kacang hijau sangat kecil itu lalu terlempar dari genggaman telapak tangan dengan lengan hitam berurat. Butiran-butiran itu terhempas jatuh diantara dedaunan padi lalu masuk ke dalam lumpur dekat batang-batang padi setinggi 60-70 cm dalam pematang sawah bertingkat di belakang sebuah rumah di perkampungan desa Kabupaten Nagekeo, NTT.
Pematang-pematang sawah itu terbentang bertingkat pada kemiringan mulai dari bantaran sungai hingga ke belakang rumahnya. Sudah hampir 5 tahun, Maksi Yenge (64) selepas pensiun dari pegawai negeri sipil di Kabupaten Nagekeo, NTT, berpindah dari ibu kota Mbay ke Desa Ratedao. Warga desa tempat Maksi tinggal banyak mengolah lahan mereka menjadi sawah tadah hujan. Seperti kebanyakan warga, Ia juga memanfaatkan lahan di belakang rumahnya untuk ditanami padi pada setiap musim hujan tiba.
Padi yang ditanami Maksi kini sudah berumur 45 hari. Ia harus melakukan pemupukan ketiga untuk mendukung perkembangan padi atau fase generatif. Maksi menuturkan padi memiliki fase vegetatif atau pertumbuhan dan fase generatif atau perkembangan sehingga perlu pemupukan pada fase-fase tersebut sehingga bisa memberikan hasil panen berlimpah.
“Harus 45 hari agar pupuk bisa terserap dengan baik, kalau ada yang lebih sampai 60 hari maka sebagian nutrisi dari pupuk tidak akan terserap dengan baik oleh padi,” ungkap Maksi sambil terus menebarkan pupuk di tangannya.
Menurut Maksi, pada pemupukan pertama diberikan ketika padi belum ditanam pada lahan yang siap untuk ditanami padi. Pemupukan pertama menggunakan pupuk NPK. Selanjutnya pada pemupukan kedua atau pupuk lanjutan pada 15 hari setelah tanam menggunakan pupuk NPK dan Urea dan pada pemupukan ketiga hanya menggunakan Urea. Total ada 3 kali pemupukan. Bila padinya kerdil maka ia akan memberikan banyak pupuk NPK sedangkan bila daunnya menguning maka akan diberikan pupuk Urea.
Maksi Yenge mengungkapkan dalam satu hektar kebutuhan pupuk mencapai 400 kg. Sedangkan lahan sawah di belakang rumahnya sekitar 50 Are atau setengah hektar sehingga hanya membutuhkan pupuk sebesar 200 kg.
“Jadi kalo lahannya setengah hektar, maka kebutuhan pupuk NPK ditambah Urea besarnya 200 kg, tinggal kita lihat pertumbuhan dan perkembangan padi apakah lebih banyak Urea atau lebih banyak NPK ataukah harus seimbang, semuanya juga tergantung kondisi padi,” ungkap lulusan politeknik pertanian yang kini berprofesi sebagai petani selepas pensiun dari pegawai Dinas Pertanian.
Maksi menuturkan untuk lahan sawah tadah hujan yang sekarang ia kerjakan memang pengeluaran biaya selama produksi tidak terlalu besar namun produksi tetap dapat ditingkatkan dengan pemberian pupuk subsidi. Ia mengaku bila tidak diberi pupuk hasil panennya menurun. Ia hanya memperoleh 14 karung gabah kering sekali panen pada beberapa tahun lalu karena tak ada modal untuk membeli pupuk. Namun setelah diberikan pemupukan pada tahun berikutnya maka produksi padinya meningkat drastis menjadi 20 -25 karung sekali panen.
Maksi mengungkapkan sebelum mengerjakan lahan tadah hujan ia juga pernah menanam padi pada sawah irigasi di Mbay yang bisa panen 3 kali setahun selama hampir lebih dari 20 tahun. Menurutnya pada sawah irigasi di Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo, karena sawah terus ditanami padi maka kualitas tanah semakin menurun sehingga membutuhkan pupuk yang tinggi untuk meningkatkan kualitas tanah hingga akhirnya membengkak pada biaya produksi.
“Beruntung bisa dengan pupuk subsidi baik NPK atau Urea karena saya pernah coba kalau pupuknya bagus dan pemberian sesuai kebutuhan maka saya bisa panen lebih dari 80 karung bahkan bisa 86 karung, itu belum termasuk ampasnya yang 15 karung jadi bisa 100 karung, makanya saya kira dengan pupuk yang ada kita bisa swasembada pangan, “ ungkap Maksi seraya menunjukkan karung berukuran 100 kg berisi padi di samping rumahnya sisa panen tahun lalu.
Selain itu Maksi mengungkapkan dalam pemberian pupuk untuk mencapai hasil yang diinginkan maka perlu mengetahui waktu yang baik harus memberi pupuk serta tahu sasaran atau tujuannya untuk apa sehingga tidak asal memberi pupuk. Sebagai petani harus peka terhadap tanaman sehingga penting untuk terus mengecek kondisi tanaman atau rajin merawatnya.
Bagi Maksi dengan penghasilan yang pas-pasan selepas pensiun, pupuk subsidi yang relatif terjangkau berupa NPK dan Urea, cukup membantu ketahanan pangan keluarganya dan ekonomi rumah tangganya terutama membantunya membiayai anak-anaknya berjumlah 3 orang hingga lulus perguruan tinggi dari hasil menjual beras.
Tingkatkan Hasil di Tanah Berkadar Garam
Peter Tenda (32) menjadi satu- satunya anak muda seumuran yang masih aktif mengerjakan sawah di saat kawan-kawan seusianya di desa mereka lebih memilih untuk merantau antar pulau hingga ke luar negeri seperti Malaysia menjadi tenaga kerja. Sudah sekitar 10 tahun Peter bergelut dengan sawah untuk menopang istri dan anak perempuannya serta ayahnya yang tinggal bersamanya.
Menurut Peter lahan sawah di desanya punya tanah dengan kadar garam yang agak tinggi karena dekat dengan pantai dibandingkan beberapa desa lain di area sawah Irigasi Mbay kanan yang mencapai 3000-an hektar. Sehingga untuk meningkatkan produktivitas hanyalah dengan cara pemupukan yang tepat agar usaha kerja keras tak sia-sia.
“Belum ada kajian ilmiah untuk kadar garam di sawah yang dekat laut, satu-satunya cara adalah pupuk, dan pupuk subsudi ini yang paling realistis dan masuk akal karena harganya murah dan mudah terjangkau,” ungkap Peter sambil membuka karung pupuk Urea dan NPK yang nanti akan disiram di sawah belakang rumahnya seluas kurang lebih 1 hektar.
Peter mengungkapkan berdasarkan pengamatan dengan kondisi padi yang ada, ia biasanya melakukan 2 kali pemupukan dengan perbandingan 3 karung Urea berjumlah 150 kg ditambah 50 kg NPK untuk pemupukan pertama pada umur padi sekitar 18 - 20 hari setelah tanam. Kemudian akan dilakukan pemupukan kedua pada umur padi 45 hari atau fase generatif ketika padi bunting dengan dosis terbalik 150 kg pupuk NPK dan 50 kg Urea. Peter mengaku dengan kondisi tanah seperti ini maka pemupukan menjadi pilihan terbaik dalam meningkatkan produktivitas karena sepengalamannya bila tidak menggunakan pupuk maka hasilnya menurun bisa 3 kali lipat.
“Seharusnya 3 kali tapi saya 2 kali kasih pupuk. Pernah ketika kami uang tidak ada beli pupuk, hasilnya hanya 10-15 karung ukuran 100 kg, namun kalo pakai pupuk ini luas lahan sekarang kami bisa dapat 35-40 karung dan kalau perawatannya baik, pengendalian hamanya bagus bisa mencapai 50 sampai 60 karung. Jadi harus pupuk kalo tidak sia-sia ini keringat,” ungkap Peter sambari mulai mencampurkan pupuk Urea dan NPK pada alas terpal.
Setelah mencampur, ia lalu mengukurnya pada ember untuk dibagikan pada setiap pematang sawah miliknya. Dengan perlahan Peter lalu masuk ke dalam pematang sawah berlumpur dengan ember berbalut kain berisi pupuk yang tercampur tadi. Ia lalu berjalan diantara baris padi lalu menebar pupuk di terik matahari yang mulai naik hingga butiran keringat yang mulai menetes di pipinya. Ia terus berharap usahanya tidak sia-sia, hasil panen tahun ini bisa lebih baik.
Peter menuturkan banyak anak muda seumurannya tidak bertahan bekerja sawah di sekitar desa mereka karena produktivitas tidak sesuai yang diharapkan sehingga beralih profesi atau menggadaikan lahannya kepada orang yang bersedia untuk mengolah sawah. Itu karena tingginya kadar garam dalam tanah sehingga produktivitas menurun. Penggunaan pupuk dari bahan alami tidak menuai hasil baik.
Menurut Peter, pupuk subsidi menjadi pilihan yang lebih realistis dan masuk akal bagi rata-rata petani di daerahnya karena harganya yang relatif murah dan mudah terjangkau. Selain itu pupuk subsidi ini satu-satunya cara yang bisa meningkatkan hasil panen walau tingginya kadar garam dalam tanah. Bagi Peter selama ini faktor terbesar produktivitas menurun akibat pemberian pupuk yang kurang tepat ditambah lagi dengan pengendalian hama dan perawatan yang minim hingga orang muda banyak yang hengkang atau menyerah untuk kerja sawah.
(H-3)