Banjir Jabodetabek Bukti Indonesia Rentan Ancaman Krisis Iklim

1 week ago 13
Banjir Jabodetabek Bukti Indonesia Rentan Ancaman Krisis Iklim Evakuasi korban banjir Jakarta, di wilayah Cililitan Kecil.(Dok. MI/Usman Iskandar)

BENCANA banjir Jabodetabek telah memakan banyak korban. Salah satunya di wilayah Bekasi di mana banjir merendam 20 titik di 7 kecamatan di Kota Bekasi. Perubahan bentang alam yang drastis di daerah aliran sungai (DAS) Kali Bekasi menjadi salah satu penyebab parahnya banjir Bekasi.

Data Kementerian Kehutanan menunjukkan, area terbangun di tahun 2022 mencakup 42 persen dari total luas DAS Kali Bekasi, yang melalui daerah-daerah seperti Cibinong, Gunung Putri, Cileungsi, dan Sentul, serta kediaman Presiden Prabowo Subianto di Hambalang, Kabupaten Bogor. Jumlah ini meningkat drastis dari 5,1 persen area terbangun di tahun 1990.

Perubahan fungsi lahan mengurangi kemampuan penyerapan air, sehingga limpasan air ke sungai menjadi sangat besar melebihi kapasitasnya dan mengakibatkan sungai meluap ke daerah permukiman di Bekasi yang berada di lokasi yang lebih rendah.

Kini, lahan hutan di wilayah DAS Kali Bekasi hanya tersisa sekitar 1.700 hektar atau kurang dari 2 persen luas wilayah DAS.

Juru Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia Jeanny Sirait mengatakan eksploitasi alam dan pembangunan yang serampangan di wilayah DAS Kali Bekasi seharusnya bisa dicegah jika pemerintah daerah melakukan pembatasan izin yang berdampak pada eksploitasi lingkungan di kawasan tersebut.

Selain itu, ia juga menilai pemerintah daerah juga perlu lebih sigap merespon peringatan cuaca dini yang diberikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai upaya mitigasi bencana.

"Jabodetabek, layaknya Indonesia, kini berada di garis depan krisis iklim. Peringatan dini dari BMKG seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah daerah untuk melakukan respon cepat mitigasi bencana, terutama di tengah peningkatan frekuensi cuaca ekstrem akibat krisis iklim seperti saat ini. Dengan begitu, pemerintah daerah bisa meminimalisasi jumlah korban, dampak sosial dan kerugian ekonomi yang harus ditanggung warga," kata Jeanny dalam keterangannya, Kamis (6/3).

Jeanny pun mendorong pemerintah daerah wilayah Jabodetabek untuk meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim dibanding mengeluarkan solusi palsu seperti modifikasi cuaca yang hanya akan bertahan sementara.

"Pemerintah daerah seharusnya fokus untuk merancang kota yang tahan iklim, serta mempersiapkan warga dalam menghadapi dampak krisis iklim," ujarnya.

Pemerintah daerah pun harus memastikan upaya mitigasi dan adaptasi dampak krisis iklim dapat dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan penuh negara, terutama bagi komunitas terdampak seperti rakyat miskin kota, masyarakat di wilayah pedesaan, warga pesisir dan pulau-pulau kecil.

"Hal itu bukan hanya akan meningkatkan ketahanan daerah dalam menghadapi krisis iklim, namun juga mengembangkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat” tutur Jeanny.

Upaya adaptasi dan mitigasi dapat dilakukan melalui pengelolaan DAS terpadu, restorasi kawasan hutan di hulu, memperbanyak sumur resapan dan biopori, memperluas kawasan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai resapan air hujan sekaligus mengurangi polusi udara.

Kemudian pemberdayaan masyarakat dalam upaya mengelola daerahnya, melakukan pembatasan terhadap izin usaha yang mengeksploitasi lingkungan  serta memastikan pengendalian alih fungsi lahan yang tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.   

Greenpeace mendesak pemerintah daerah di kawasan Jabodetabek serta pemerintah pusat untuk fokus pada upaya mitigasi dan adaptasi iklim di tengah tingginya frekuensi cuaca ekstrem akibat dampak krisis iklim.

"Perubahan fungsi lahan yang serampangan serta lambatnya respon pemerintah daerah atas peringatan dini cuaca ekstrem menjadi penyebab utama bencana banjir yang merendam wilayah Jabodetabek yang beberapa hari ini berdampak luas pada masyarakat," pungkasnya. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |