
PERANG opini di ruang publik semakin terasa panas belakangan ini. Media sosial dan pemberitaan daring kerap kali dipenuhi narasi-narasi tajam yang tidak sepenuhnya jelas asal-usul datanya. Publik seringkali kesulitan membedakan mana yang benar-benar fakta dan mana yang sengaja didesain untuk menggiring opini. Fenomena ini bukan hal baru, tetapi intensitasnya kini meningkat seiring dengan dinamika politik yang makin panas.
Beberapa pengamat menilai, teknik social engineering mulai dipakai secara aktif dalam mempengaruhi persepsi masyarakat. Cara kerjanya sederhana: lempar isu, bangun narasi, perkuat dengan potongan-potongan data yang tampak meyakinkan, lalu biarkan publik ribut sendiri.
Dalam situasi seperti ini, media menjadi alat yang sangat efektif. Bahkan, framing dalam pemberitaan bisa menentukan siapa yang tampil sebagai korban dan siapa yang terlihat bersalah, meskipun bukti belum ada.
Di saat yang sama, banyak informasi viral yang tidak diverifikasi lebih dulu oleh pembaca. Situasi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membentuk persepsi publik secara sistematis. Narasi yang dibangun seolah organik, padahal dirancang sedemikian rupa.
Dalam kondisi ini, orang biasa bisa ikut larut dalam arus, bahkan tanpa sadar menyebarkan informasi yang keliru. Celakanya, target dari narasi semacam ini bukan hanya sosok politisi biasa, tetapi juga bisa mengarah pada tokoh-tokoh besar yang punya pengaruh kuat di pemerintahan.
Presiden Prabowo Subianto menjadi salah satu sosok yang kini berada dalam pusaran ini. Serangan tidak diarahkan langsung ke dirinya, melainkan ke lingkaran dekatnya.
Menurut Pengamat Intelijen dan Geopolitik, Amir Hamzah, ada upaya sistematis melemahkan Prabowo dengan menyasar orang-orang terdekatnya di bidang politik dan militer.
“Prabowo itu tidak bisa diserang secara langsung karena kekuatan elektoral dan posisi politiknya sekarang sangat kokoh. Tapi kalau orang-orang terdekatnya dilumpuhkan, maka perlahan ia akan melemah secara internal,” ujar Amir melalui keterangannya, Rabu (09/4).
Beberapa nama yang disoroti antara lain Sufmi Dasco Ahmad, Hashim Djojohadikusumo, dan Jenderal (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin.
Amir memandang, ketiganya menjadi sasaran awal dalam rangkaian manuver politik yang mengandalkan kekuatan media dan framing isu. Pemberitaan negatif terhadap Dasco, misalnya, dikaitkan dengan isu judi online di Kamboja yang menurut Amir sama sekali tidak berdasar.
“Kalau tokoh sekelas Dasco bisa dijatuhkan dengan framing semacam ini, maka ini preseden buruk bagi demokrasi kita,” tambahnya.
Hashim, adik Prabowo, diserang lewat narasi yang mengaitkan bisnisnya dengan kepentingan asing. Sjafrie Sjamsoeddin turut jadi target lewat isu lama seputar HAM dan rekam jejak militernya.
"Kita tidak bisa menutup mata, ada kekuatan besar yang tidak ingin Prabowo memegang kendali penuh di pemerintahan karena dianggap akan memperkuat posisi Indonesia dalam poros strategis dunia,” jelasnya.
Amir mengingatkan bahwa masyarakat harus makin cerdas memilah informasi. Ia menilai, jika publik tidak jernih dalam menyikapi kabar yang beredar, maka upaya social engineering ini bisa berhasil dengan mudah. Ia juga menekankan pentingnya peran aparat hukum dalam merespons isu-isu yang berseliweran tanpa bukti yang kuat. (Cah/P-3)