
PENELITI Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Iqbal Kholidin mengatakan KPU dan Bawaslu serta pemerintah daerah dan pusat harus mengevaluasi sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Tanah Papua.
“Melihat dinamika di Puncak Jaya, ada dua hal utama yang perlu dievaluasi dan jadi perhatian serius. Pertama, lemahnya desain kelembagaan dan prosedur penyelenggaraan pilkada di wilayah-wilayah dengan karakteristik khusus seperti Papua. Kedua, minimnya pendekatan kultural dan kontekstual dalam proses demokratisasi,” ujarnya kepada Media Indonesia pada Rabu (9/4).
Iqbal menuturkan penyelenggaraan pemilihan suara ulang (PSU) seharusnya menjadi solusi administratif dan hukum terhadap pelanggaran atau cacat dalam tahapan pemilu. Akan tetapi, jika PSU justru kembali digugat dan disertai dengan kekerasan yang memakan korban, ini menunjukkan dua gejala serius.
“Pertama, bahwa akar masalahnya bukan hanya soal teknis pemilu, tapi juga menyangkut ketidakpercayaan publik terhadap netralitas penyelenggara dan legitimasi hasil,” jelasnya.
“Kedua, ada kegagalan negara dalam memastikan bahwa pilkada bisa berlangsung damai dan adil, terutama di wilayah dengan kompleksitas politik, budaya, dan keamanan seperti Papua,” lanjut Iqbal.
Menurut Iqbal, KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara mesti menyadari bahwa berbagai wilayah di Papua tidak bisa diperlakukan seperti wilayah-wilayah lain yang relatif homogen dan stabil.
“Pemilu di Papua harus berbasis pendekatan kontekstual, memahami struktur sosial masyarakatnya, cara kerja kekuasaan adat, dan dinamika lokal yang penuh ketegangan,” imbuhnya.
Oleh karena itu, KPU dan Bawaslu harus melakukan refleksi mendalam atas pendekatan ‘satu ukuran untuk semua’ yang selama ini digunakan dalam penyelenggaraan pemilu.
“Perlu lebih banyak fasilitasi dialog antarpendukung, pelibatan tokoh adat dan agama secara aktif, serta distribusi logistik dan pengawasan yang tidak hanya formal tetapi juga substantif,” ungkap Iqbal.
Iqbal juga menilai bahwa selama ini negara terlalu menekankan aspek keamanan dengan pendekatan militeristik, namun abai pada akar masalah berupa krisis representasi dan keadilan elektoral.
“Faktor yang membuat Pilkada di Papua sulit berlangsung damai akibat polarisasi dan gesekan kepentingan yang serius, sehingga yang diributkan bukan hanya jabatan, tapi akses terhadap sumber daya, legitimasi kekuasaan, dan bahkan harga diri kolektif satu komunitas,” ujarnya
Selain itu, Iqbal menjelaskan faktor yang menyebabkan Pilkada yang demokratis di Papua sulit dijalankan karena esensi demokrasi sering kali hanya dipahami sebagai ritual lima tahunan, bukan proses pemulihan relasi kuasa antara negara dan rakyat Papua yang selama ini timpang.
“Kita terlalu sering lupa bahwa demokrasi tidak bisa dipaksakan lewat undang-undang atau logistik kotak suara. Ia tumbuh dari rasa percaya, rasa aman, dan rasa dimiliki oleh warga,” tandasnya. (Dev/P-3)