Perlu Pembersihan Besar-Besaran di Tubuh Pertamina

1 week ago 9
Perlu Pembersihan Besar-Besaran di Tubuh Pertamina Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis pertamax dan pertalite di SPBU Asaya, Semarang, Jawa Tengah.(Antara)

PENGAMAT energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi menilai kasus mega korupsi Pertamina yang merugikan negara sekitar Rp193,7 triliun per tahun, dilakukan selama 5 tahun menggemparkan masyarakat Indonesia. Kejaksaan Agung harus tetap fokus pada penanganan dugaan mega korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina periode 2018-2023.

"Perlu dilakukan pembersihan besar-besaran terhadap semua pihak yang terkait dan bersinggungan dengan mafia migas di Pertamina dan kementerian terkait, termasuk backing mafia migas," tegas dia, Senin (3/3).

Pasalnya Mega korupsi ini diduga melibatkan banyak petinggi Pertamina. Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka atas dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina selama periode 2018-2023 yang telah menimbulkan kerugian negara hampir sebesar 1 kuadriliun.

Mereka adalah RS sebagai Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS sebagai Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF sebagai Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, AP dan VP sebagai Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, MKAR sebagai Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW sebagai Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim, serta GRJ sebagai Komisaris PT Jenggala Maritim, dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak

Fahmy menegaskan, tidak mudah memang untuk mengungkap backing dari mega korupsi tersebut. Meski begitu, jika mencermati periode waktu mega korupsi yang berlangsung lama antara periode 2018-2023, dan baru di awal 2025 dapat diungkap tentunya bisa menjadi petunjuk penting bagi Kejaksaan Agung untuk mengejar backing tersebut.

“Seolah selama 2018-2023 mega korupsi tidak tersentuh sama sekali karena kesaktian backing dan tidak sakti lagi sejak awal 2025. Tanpa operasi besar-besaran terhadap jaringan mafia migas, termasuk menyikat backing-nya, mega korupsi Pertamina pasti terulang lagi”, terangnya.

Menurut dia, modus yang digunakan dalam merampok uang negara kali ini serupa dengan modus mafia migas sebelumnya. Mereka melakukan mark up impor minyak mentah dan BBM, serta upgrade blending BBM dari Pertalite (Ron 90) menjadi Pertamax (Ron 92).

Dalam praktiknya, minyak mentah produksi dalam negeri ditolak diolah di kilang Pertamina dengan alasan spesifikasinya tidak sesuai dengan kualifikasi Kilang Pertamina. Akibatnya harus impor minyak mentah untuk bisa diolah di kilang dalam negeri.

“Dengan alasan kapasitas kilang tidak memenuhi, maka BBM masih harus impor dalam jumlah besar. Harga impor minyak mentah dan BBM tersebut kenyataan telah dilakukan mark up sehingga merugikan keuangan negara yang harus membayar impor lebih mahal. Mark up juga dilakukan pada kontrak pengiriman, dengan tambahan biaya ilegal sebesar 13-15 persen,” terang dia.

Menurut Fahmy, tindak pidana korupsi itu tidak hanya merampok uang negara, tetapi juga merugikan masyarakat sebagai konsumen BBM. Kenyataan di lapangan saat masyarakat membeli BBM, mereka tidak mendapatkan kualitas bahan bakar yang semestinya. “Mereka (konsumen) membayar harga Pertamax namun yang diperoleh Pertalite yang harganya jauh lebih murah,” terangnya.

Namun, belakangan yang mengemuka di media adalah perdebatan modus blending dengan mengaburkan modus perampokan negara melalui markup impor minyak mentah, impor BBM dan pengapalan impor minyak mentah dan BBM.

Bahkan, perdebatan antara Kejaksaan Agung dan Pertamina terkait kebenaran blending justru berpotensi mendorong migrasi konsumen Pertamax dari SPBU Pertamina ke SPBU asing dan migrasi dari penggunaan Pertamax BBM non-subsidi ke Pertalite BBM subsidi.

“Kalau migrasi konsumen ini meluas, tidak hanya merugikan Pertamina, tetapi juga akan terjadi pembengkakan beban APBN untuk subsidi BBM. Pertamina harus segera menghentikan penyangkalan terhadap temuan Kejaksaan Agung yang justru kontra-produktif," terang dia.

Ia pun menyarankan, agar perampokan itu tidak terulang kembali, aparat hukum harus mengganjar hukuman seberat-beratnya para tersangka. Pertamina pun harus melakukan operasi pembersihan besar-besaran terhadap oknum mafia migas yang masih bercokol di lingkungan Pertamina. Presiden Prabowo diharapkan menjadi panglima dalam Pemberantasan Mafia Migas.

“Tanpa peran aktif Presiden, jangan harap mafia Migas yang powerfull dapat diberantas dan mustahil perampokan uang negara tidak terulang lagi," tutup dia. (E-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |