Mustahil Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen kalau Deindustrialisasi

2 weeks ago 11
Mustahil Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen kalau Deindustrialisasi Ilustrasi(Antara)

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyelenggarakan diskusi publik yang membahas mengenai tantangan industri dalam menopang pertumbuhan ekonomi. Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara dengan ekonomi yang kuat selalu ditopang industri yang maju. Sayangnya, di Indonesia, saat inni sektor industri menghadapi tantangan yang cukup besar yakni deindustrialisasi. Target pertumbuhan ekonomi 8% pun dinilai sebagai hal yang mustahil dicapai.

Guru Besar Universitas Paramadina, Ahmad Badawi Saluy mengungkapkan bahwa tren pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan cenderung menurun sejak 2011 hingga 2024, dengan pengecualian tahun 2020. Target Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024 sebesar 19,9%-20,5% pun tidak tercapai. 

"Pada triwulan keempat 2024, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,02%, dengan kontribusi industri manufaktur yang sangat kecil, yaitu 1%. Hal ini menunjukkan lemahnya peran sektor manufaktur dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," ucap Badawi melalui keterangan resmi yang diterima, Sabtu (1/3).

Lebih lanjut, Badawi membandingkan kinerja industri manufaktur Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Indonesia, sambung dia, sangat konsisten tertinggal dengan struktur industri pengolahan yang masih didominasi oleh industri berbasis sumber daya alam (resource-based). Sementara itu, Malaysia dan Vietnam telah bergerak ke industri berbasis teknologi tinggi (high-tech), dan Thailand didominasi oleh industri teknologi menengah (medium-tech). 

"Kondisi ini menunjukkan perlunya transformasi struktural di sektor industri Indonesia agar mampu bersaing di tingkat global," cetusnya.

Di sisi fiskal, beban utang pemerintah juga menjadi tantangan serius. Pada 2024, utang jatuh tempo pemerintah pusat mencapai Rp371,8 triliun (Surat Berharga Negara) dan Rp62,49 triliun (pinjaman), dengan total bunga utang lebih dari Rp550 triliun. Total kewajiban utang mencapai Rp1.353,2 triliun. Badawi menegaskan, sangat berat bagi Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi 8% mengingat faktor pendukung seperti industri, situasi politik, dan penegakan hukum yang belum memadai. 

"Langkah strategis dan komprehensif diperlukan untuk memperbaiki fondasi ekonomi Indonesia ke depannya," imbuhnya.

Sementara itu, Dosen Universitas Paramadina, Muhamad Ikhsan menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi 8% harus dimaknai sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar tujuan akhir. Ia juga mengingatkan adanya tanda-tanda deindustrialisasi, terlihat dari menurunnya nilai tambah sektor manufaktur dalam beberapa tahun terakhir. 

"Indonesia masih tertinggal dalam Global Innovation Index dan Economic Complexity Index, yang menunjukkan ketidakmampuan mengelola tugas-tugas kompleks. Hal ini menjadi tantangan serius dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi nasional," papar Ikhsan.

Selain itu, Ikhsan menyoroti pembangunan yang tidak merata di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi yang terlalu terpusat di Pulau Jawa. Sektor pertanian juga semakin kehilangan perannya terhadap PDB, sementara sektor jasa semakin meningkat. Ia memberikan tiga rekomendasi untuk pemerintah yaitu, melakukan kembali industralisasi dibandingkan hanya hilirisasi, meningkatkan pertumbuhan inovasi, dan mengurangi ketimpangan pembangunan dan meningkatkan kapasitas sektor-sektor strategis.

Kabinet Gemuk Hambat Koordinasi

Di sisi lain, Peneliti INDEF, Ariyo DP Irhamna, menyoroti tantangan yang dihadapi oleh Kabinet Merah Putih yang dinilai terlalu gemuk sehingga menghambat koordinasi dan pengambilan keputusan cepat dalam menangani isu-isu strategis. Kondisi ini semakin memprihatinkan mengingat tren global justru bergerak ke arah efisiensi birokrasi, baik di tingkat kementerian maupun pegawai. Selain itu, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada awal 2025 menunjukkan kinerja yang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, bahkan mendekati level awal 2022. 

"Hal ini mengindikasikan bahwa sektor manufaktur Indonesia masih berjuang antara ekspansi dan kontraksi," tutur Ariyo.

Di samping itu, Ariyo juga menekankan adanya kesenjangan pertumbuhan di beberapa sektor industri, pasalnya, ada industri yang pertumbuhan maupun kontribusi yang tinggi, namun ada juga industri yang pertumbuhannya tinggi dan kontribusi rendah. 

"Selain itu, pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) Indonesia mengalami penurunan signifikan dari periode ke periode, bahkan berada di angka negatif," ungkapnya.

Ia menegaskan inovasi melalui riset perlu diperhatikan lebih oleh pemerintah dari akademisi hingga proses pengembangannya di industri. Terakhir, ia memberikan dua rekomendasi kebijakan, yaitu memperkuat domestic value chain dan reformasi birokrasi dan kebijakan ekonomi. (E-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |