
PENGAMAT militer sekaligus Co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengungkapkan serangan terhadap guru dan tenaga kesehatan di Yahukimo, Papua Pegunungan yang dilancarkan kelompok kriminal bersenjata (KKB), bukan hanya serangan terhadap individu, tapi serangan terhadap layanan dasar dan simbol kehadiran negara di Papua.
Ia mengatakan guru dan tenaga kesehatan adalah tulang punggung kehidupan sipil. Ketika mereka menjadi sasaran, maka yang diserang adalah masa depan masyarakat itu sendiri.
Fahmi mengungkapkan ada beberapa langkah mitigasi yang seharusnya dilakukan pemerintah agar kejadian seperti ini tidak terus berulang. Pertama, penguatan sistem pengamanan berbasis komunitas.
Ia mengatakan keamanan di Papua tak bisa hanya diserahkan pada aparat. Pemerintah harus membangun sistem deteksi dan perlindungan dini berbasis tokoh adat, gereja, kepala kampung, dan aparat keamanan lokal.
"Kehadiran aparat perlu disandingkan dengan pendekatan sosial yang membuat masyarakat ikut merasa memiliki peran dalam menjaga stabilitas," kata Fahmi kepada Media Indonesia, Rabu (26/3).
Langkah kedua ialah penempatan personel keamanan secara selektif dan presisi. Ia mengatakan tidak semua wilayah harus dimiliterisasi, tetapi di daerah yang memang rawa, seperti Yahukim perlu ada kehadiran aparat yang cukup dan responsif, terutama untuk menjamin keamanan fasilitas publik dan tenaga layanan dasar seperti guru dan tenaga kesehatan.
Langkah selanjutnya ialah pemetaan wilayah rawan secara detail dan penguatan koordinasi lintas sektor. Ia menjelaskan nanyak tenaga pengajar dan kesehatan bekerja di tempat terpencil. Pemerintah daerah, Kementerian Pendidikan dan Kesehatan, serta aparat keamanan harus punya satu peta risiko yang sama, sehingga tidak ada lagi pengiriman sumber daya manusia ke wilayah rawan tanpa perlindungan memadai.
Fahmi mengatakan langkah keempat ialah pendekatan humanistik dan komunikasi yang inklusif. Ia menjelaskan pendekatan keamanan memang penting, tapi tidak boleh berdiri sendiri. Masyarakat Papua harus diajak bicara secara bermartabat, didengarkan keluhannya, dan dilibatkan dalam perencanaan pembangunan.
"Kepercayaan adalah kunci dan kepercayaan tidak lahir dari monolog kekuasaan, tapi dari dialog yang setara," katanya.
Fahmi mengungkapkan pemerintah tidak cukup hanya dengan pendekatan militeristik dalam mengatasi konflik di Papua. Operasi keamanan tetap perlu, terutama untuk menghadapi kelompok separatis bersenjata yang terus melancarkan kekerasan. Akan tetapi, operasi ini harus dijalankan secara profesional, akuntabel, dan tidak melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.
"Jika pendekatan keamanan tidak diimbangi dengan kehadiran negara yang manusiawi dan membangun kepercayaan, maka kekerasan akan terus berulang dalam siklus yang tak pernah putus," pungkasnya. (Faj/P-2)