
HILIRISASI menjadi salah satu penopang untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menunjukkan komitmen dalam menjalankan program hilirisasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kementerian Investasi bertransformasi menjadi Kementerian Investasi dan Hilirisasi, serta pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional mendukung langkah tersebut.
Selain itu, pemerintah tengah mempersiapkan pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), yang akan berperan dalam mendanai berbagai proyek hilirisasi.
Dengan manfaat nyata seperti surplus neraca perdagangan dan efek berganda bagi industri, hilirisasi diharapkan dapat mendukung target pertumbuhan ekonomi 8% di tengah ketidakpastian geopolitik global. Namun, di balik optimisme ini, terdapat tantangan dan implikasi dalam implementasi hilirisasi.
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menyampaikan bahwa hilirisasi membuka peluang investasi lebih besar dan berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja. Studi menunjukkan, investasi sebesar 38 miliar dolar AS di industri tembaga menciptakan lebih dari 250 ribu lapangan kerja baru, dengan potensi ekspor mencapai 282 juta dolar AS.
Namun, lanjut Esther, tantangan yang dihadapi tidak sedikit. Salah satunya, ketergantungan pada investasi asing, serta keterbatasan dukungan finansial domestik. “Di Indonesia, perbankan masih menerapkan suku bunga tinggi dan mensyaratkan jaminan aset yang cukup berat bagi pelaku usaha lokal,” ujar Esther dalam diskusi yang bertajuk “Hasil Riset Tantangan dan Implikasi Hilirisasi Mineral di Indonesia” yang diselenggarakan di Jakarta, (3/2).
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (PEBS FEB UI), Nur Kholis, menambahkan, implementasi hilirisasi tidak luput dari tantangan. Infrastruktur di beberapa daerah masih perlu ditingkatkan agar mendukung proses produksi dan distribusi.
Selain itu, pengembangan tenaga kerja lokal yang memiliki keterampilan khusus dalam industri pengolahan juga menjadi agenda penting untuk memastikan keberlanjutan program ini.
“Salah satu faktor kunci keberhasilan hilirisasi adalah kesiapan tenaga kerja. Jika kita ingin mencapai Indonesia Emas 2045, maka investasi dalam pendidikan vokasional dan pelatihan tenaga kerja berbasis industri harus menjadi prioritas,” ucap Nur Kholis.
Pada kesempatan yang sama, pengamat ekonomi dari The Reform Initiative, Wildan Syafitri, menyoroti pentingnya kebijakan inklusif dan kolaborasi lintas sektor dalam mendukung hilirisasi industri.
Menurutnya, hasil riset pihaknya mengenai harmonisasi hubungan antara pekerja asing, pekerja domestik, dan masyarakat lokal dalam konteks investasi dan hilirisasi di Batam dan Konawe, menunjukkan bahwa meskipun kedua daerah memiliki potensi besar, tantangan sosial dan ketenagakerjaan masih menjadi isu utama yang perlu diselesaikan.
“Di Batam, hilirisasi pasir silika menghadapi konflik lahan, ketimpangan antara pekerja asing dan domestik, serta dinamika sosial budaya masyarakat Melayu. Sementara itu, di Konawe, hilirisasi nikel mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan kesenjangan ekonomi baru yang memicu konflik sosial,” tambahnya.
Selain itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (UB), Abdul Ghofar, menekankan pentingnya pendekatan hilirisasi yang lebih komprehensif dalam melibatkan masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Menurutnya, perusahaan yang menjalankan hilirisasi perlu mengedepankan dialog dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti pelatihan keterampilan, peningkatan fasilitas kesehatan, perbaikan infrastruktur, serta pelestarian budaya lokal.
“Pola kemitraan yang diharapkan masyarakat dan seluruh stakeholder di wilayah penelitian adalah CSR eksplisit, CSR Implisit, dan rantai pasok. CSR eksplisit berfokus pada penyediaan kebutuhan dasar dan peluang ekonomi bagi masyarakat lokal. Sedangkan rantai pasok berfokus pada kerja sama bisnis yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal secara jangka panjang,” jelasnya.
Sementara itu, RIG Leader for AI Geospatial Economics BINUS University, Alexander Agung Santoso Gunawan, menyampaikan bahwa Model Diplomasi Investasi dinilai dapat menjadi strategi efektif bagi Indonesia dalam memperkuat kerja sama bilateral, regional, dan multilateral di sektor hilirisasi investasi. Model ini menciptakan nilai tambah industri nasional sekaligus meningkatkan kemandirian ekonomi.
“Pemanfaatan mahadata (big data) dan kecerdasan buatan (AI) dalam menyusun Peta Hilirisasi turut memperkuat efektivitas model ini. Teknologi tersebut memungkinkan analisis yang lebih akurat dan adaptif, sehingga menghasilkan rekomendasi kebijakan yang sesuai dengan dinamika pasar dan kebutuhan industri,” pungkasnya.
Hilirisasi mineral merupakan strategi penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing industri nasional. Keberhasilannya tergantung pada kesiapan infrastruktur, dukungan finansial, peningkatan keterampilan tenaga kerja, serta kebijakan inklusif bagi masyarakat lokal. Pemanfaatan teknologi dan pendekatan diplomasi dapat mempercepat realisasi hilirisasi secara berkelanjutan. (H-2)