
AMNESTY International Indonesia menyoroti praktik pengawasan di luar hukum yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat sipil. Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam acara peluncuran laporan tahunan hak asasi manusia (HAM) di Jakarta, Selasa (29/4).
Usman mengungkap pihaknya menemukan indikasi kuat bahwa pihak kepolisian maupun Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN) telah melakukan pembelian perangkat pengintai atau spyware dan teknologi pengawasan pada tahun lalu. Alat-alat itu dibeli Indonesia dari luar negeri, termasuk Israel.
"Jelas sekali Indonesia membeli peralatan sadap itu dari Israel, dari Yunani, dari Singapura, dan Malaysia. Alat-alat sadap itu sangat berbahya untuk kebebasan berekspresi, untuk kebebasan pers, untuk privasi warga, karena itu harus ada transparansi," terangnya.
Namun, upaya menemukan transparansi yang dilakukan Amnesty tidak membuahkan hasil sampai saat ini. Usman mengatakan, pihaknya sudah meminta jawaban terbuka dari Polri maupun BSSN soal pembelian alat-alat tersebut. Namun, institusi tersebut menilai Amnesty adalah lembaga internasional, sehingga permintaannya ditolak.
"Parlemen dan pemerintah harus segera memberlakukan peraturan yang lebih melindungi privasi warga di ruang digital, termasuk larangan atas spyware yang invasif,” kata Usman.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas HAM Putu Elvina mengatakan, sejauh ini, pihaknya belum melihat penggunaan alat pengintai oleh aparat sebagai ancaman. Ia mengajak semua phak untuk menelisik lebih jauh peraturan yang spesifik mengatur soal penyadapan, termasuk ada tidaknya pertentangan dengan hak yang diatur dalam konstitusi.
Kendati demikian, Putu mengatakan bahwa Komnas HAM tidak menafikan penilaian masyarakat sipil atas praktik penggunaan spyware yang mengancam kebebasan.
"Ini yang saya pikir perlu kita detailkan lebih lanjut terkait spyware tersebut. Artinya, mendudukan ini sebagai ancaman di satu sisi, tapi di sisi lain ini menjadi ruang tantangan untuk memperbaiki sistem atau undang-undang di Indonesia," sambungnya.
Sementara, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso mengatakan pihaknya bakal mengecek apakah Polri benar-benar menggunakan alat pengintai untuk menyadap kegaitan masyarakat sipil. Menurutnya, jika terjadi penyelewengan yang dilakukan negara untuk membungkan demokrasi, DPR bakal menggandeng kelompok masyarakat sipil untuk menangkalnya.
Di sisi lain, ia berpendapat bahwa saat ini masyarakat memiliki kebebasan dalam berkespresi. Bahkan, politisi Partai Gerindra itu menyebut bahwa rezim yang berlaku di media sosial adalah rezim netizen.
"Kebebasan berekspresi, berbicara, di era digital ini sangat besar. Enggak kayak 1997 dulu. Sekarang semua bebas untuk mebuat konten, posting di media sosialnya masing-masing," ujarnya. (P-4)