Konsekuensi Etis dari AI yang Kian Cerdas dan Jadi Mesin Berkesadaran

1 week ago 7
Konsekuensi Etis dari AI yang Kian Cerdas dan Jadi Mesin Berkesadaran Pemerhati budaya dan komunikasi digital serta pendiri Literos.org Firman Kurniawan(Instagram/Firmankurniawan)

Peniruan kesadaran tampaknya jadi obsesi tertinggi manusia dalam mengembangkan teknologi, terutama yang berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Manusia mulai berilusi bahwa dirinya maha kuasa karena mampu menciptakan entitas lain lengkap dengan kesadarannya. Posisi itu tercapai saat material maupun substansi dapat dikenali sepenuhnya, baik secara fungsi maupun kerjanya. Tendensi pengembangan ilmu pengetahuan soal organ tubuh, dikuti perlombaan pemecahan misteri kecerdasan, dan kini multidisiplin ilmu pengetahuan dikerahkan untuk membongkar substansi kesadaran, bertujuan pada produksi tiruannya. Analog dengan yang ditempuh pada kerja organ tubuh maupun kecerdasaan, penyingkapan kesadaran bertujuan meniru substansi kesadaran.

Soal organ buatan, Gerardo Catapano dan Gijsbertus Jacob Verkerke mengemukakannya dalam Handbook of Research on Biomedical Engineering Education and Advanced Bioengineering Learning: Interdisciplinary Concepts. Menurut mereka, organ buatan adalah material hasil meniru fungsi dan kerja organ alamiah. Keberhasilan peniruannya terindikasi dari fungsi dan interaksinya dengan bagian tubuh lain. Organ buatan itu dapat berupa tangan buatan yang digerakkan pikiran untuk mencengkeram, atau pendengaran buatan yang dapat menangkap sensasi audio seraya diterjemahkan sebagai persepsi. Di tingkat yang kompleks, organ buatan seperti pankreas dapat menghasilkan enzim, yang dapat mengubah makanan jadi material yang mudah diserap tubuh.

Tujuan produksi dan penyatuan organ buatan adalah menggantikan organ alamiah, menambah, juga melipatgandakan fungsinya. Dengan demikian, tubuh penerima organ buatan dapat menjalani kehidupan secara normal. Bahkan integrasinya bertujuan menambah maupun melipatgandakan fungsi tubuh yang dilekatinya. Ini misalnya pada mata bionik.

Senada dengan pengertian organ buatan yang diuraikan Catapano dan Verkerke di atas, Samuel Greengard menyebut ada beragam jenis organ buatan, mulai perangkat mekanis, sistem gabungan jaringan hidup dengan sintetis, hingga sistem biosintesis hibrida. Yang terakhir disebutkan adalah gabungan bahan alamiah dengan teknologi. Meskipun awalnya organ buatan dikembangkan pada jantung manusia, para peneliti juga menghasilkan ginjal yang dapat dikenakan, paru-paru buatan, hati sintetis, mata bionik, dan pankreas buatan. Greengard mengemukakan pendapatnya tersebut dalam Artificial Organs Evolve: Crafting Replacement Parts for the Human Body

Greengard juga mengutip pendapat Nigel Lovell, Guru Besar Teknik Biomedis di University of New South Wales, Australia, soal keberhasilan organ buatan. Pencapaian produksi organ buatan memerlukan pemahaman yang seksama terkait cara kerja organ. Itu juga butuh proses rekayasa ulang yang rumit dalam menduplikasi fungsi organ. Rekayasa yang melibatkan faktor mekanis, listrik, biokimia, maupun biologis menyiratkan tahapan-tahapan yang kompleks. Mulai tahap pengenalan fungsi maupun cara kerja organ tubuh, diikuti tahap produksi organ buatan. Seluruh tahapnya diakhiri pemastian, yaitu organ buatan dapat berfungsi dan berinteraksi dengan tubuh alamiahnya.

Manusia sebagai Cyborg

Hari ini --ketika ilmu pengetahuan makin memahami, industri memproduksi, dan instalasi layanan kesehatan jarang gagal mengintegrasikan-- organ buatan adalah kelaziman. Manusia makin dapat menerima dirinya sebagai cyborg. Cyborg alias cybernetic organism adalah integrasi manusia dengan organ buatan, dalam keragaman sepert uraian Catapano dan Verkerke di atas. Karenanya, cyborg termasuk organisme bertubuh alamiah --dengan sebagian atau hampir seluruhnya-- terintegrasi organ buatan. 

Analog dengan pengembangan organ buatan, yang diikuti intensifnya pemanfaatan kecerdasan buatan peta pengenalan hingga produksi kesadaran buatan, menempuh tahap serupa. Kesadaran buatan terintegrasi menggantikan, menambahkan bahkan melipatgandakan kesadaran alamiah, hingga akhirnya menjadi puncak penciptaan tertinggi. Adakah konsekuensi dari semua itu? Mengkaji konsekuensi kesadaran buatan, dapat didahului dengan menempuh pemahaman pada kompleksitas yang dialami peradaban manusia, saat mengungkap kesadaran. Pertama, kesadaran, dengan merujuk pada pendapat Christof Koch dalam What is Cocsciousness: Scientists are Beginning to Unravel a Mystery that Has Long Vexed Philosophers, adalah kemampuan untuk mengalami. Mengalami yang melibatkan kesadaran menyebabkan manusia mampu merasakannya. Kesadaran adalah manusia yang dapat mengalami segelas cokelat panas dan merasa nikmat saat mencecapnya. Kesadaran jugalah yang membedakan cokelat nikmat itu, dengan cokelat basi di cangkir yang tak beranjak dari meja, sejak dua hari lalu. Kesadaran juga terdapat pada manusia yang mengalami kekosongan. Christof Koch adalah ilmuwan kognitif asal Amerika Serikat, yang juga dikenal sebagai ahli neurofisiologi dan ahli saraf komputasi.  

Kedua, terdapat paradoks kompleksitas yang terkandung pada kesederhanaan pengertian kesadaran. Ini hadir sebagai pandangan skeptis, yang menentangnya. Salah satunya berasal dari Daniel C Dennett lewat bukunya Kinds of Mind. Pendapat Dennett yang dikutip Koch mengisyarakatkan tak diakuinya kesadaran sebagai substansi yang dapat dibuktikan. Dennett menyebut kesadaran hanyalah ilusi. 

Skeptisime Dennett soal kesadaran, diuraikan lebih lanjut oleh Anna Buckley. Itu termuat dalam Is Consciousness Just an Illusion? Disebutkannya, Dennett meyakini otak manusia adalah mesin yang terbuat dari miliaran 'robot-robot' kecil. Robot-robot itu adalah neuron, atau sel otak. Jumlahnya mencapai seratus miliar neuron. Jika seluruh jumlahnya dihitung dengan kecepatan satu neuron per detik, diperlukan waktu lebih dari 3.000 tahun untuk menuntaskan penghitungan. Dennett juga menyebut manusia bukan sekadar robot, tapi robot yang terbuat dari robot, yang dibuat robot. Kesadarannya tak lebih dari layar laptop atau ponsel yang dibuat para teknisi. Seluruhnya agar pemakai dapat melihat representasi kehendaknya, dipenuhi dengan mengirimkan serangkaian perintah pada layar. Dengan menekan simbol-simbol pada layar, kehendaknya terlayani. Terdapat ilusi berkuasa pada pemakai. Namun seluruh aktivitas itu, sesungguhnya hanya bagian kecil dari seluruh operasi perangkat. Sebagian besar lainnya tak dipahami pemakai. Pengguna dengan ilusi kekuasaan menggerakkan jarinya, tetapi tak mampu memahami cara operasi perangkat. Kesadaran juga seperti itu: mampu merasakan yang dialaminya namun tak serta merta mampu menjelaskan cara kesadaran bekerja. Kesadaran adalah ilusi, lewat peristiwa yang dialami manusia. 

Namun Dennett tak menguraikan lebih lanjut soal ilusi ini.  Bagaimana ketika kesadaran yang disebut ilusi mengantarkan seseorang pada rasa nyeri gigi. Atau gembira lantaran lulus ujian. Mengapa itu tak dapat ditepis seperti mengusir lamunan atau ingatan yang tak sengaja terlintas. Penderitaan akibat sakit gigi atau gembira karena lulus nyata adanya. Itu juga dapat mempengaruhi kesadaran pada objek-objek yang lain.

Ketiga, di titik inilah Christof Koch berseberangan pendapat dengan Daniel C Dennett. Perseberangan ini merupakan sebagian gambaran dari beragamnya pemahaman soal kesadaran. Keberagaman yang mengantarkan pada kompleksitas, alih-alih sudah mampu memproduksi tiruannya.  
Keempat, terlepas dari posisi real atau ilusifnya kesadaran, saat diterima sebagai realitas substantif, ada implikasi etis yang menyertainya. Artinya, saat kesadaran buatan dikembangkan sebagai kelanjutan AI, itu secara mandiri dilekatkan sebagai aplikasi pada mesin dan terdapat konsekuensi etis pada seluruhnya. Sebagai contoh, analog dengan manusia. Akibat kesadarannya, manusia dapat merasakan nikmatnya cokelat panas, juga pedihnya kekosongan akibat janji yang tak tertunaikan. Itu melekat konsekuensi etis padanya. Konsekuensi etis yang memberikan kesempatan menempuh rasa bahagia, seraya menghindarkan diri dari derita. Sementara, manusia luar dirinya mengakui konsekuensi dengan mengupayakan terpenuhinya keadaan etis. Itu ditempuh dengan memperbesar kebahagiaan dan turut meringankan penderitaaan manusia lain. 

Pada proses pengambilan keputusan, jika tak dapat dipilih keputusan yang membawa kebaikan pada semua manusia, dipilih keputusan yang paling menguntungkan pihak yang paling lemah. Tujuannya, menciptakan peluang kebahagiaan pada pihak yang paling tak diuntungkan. Juga pada hukuman mati, selalu dikembangkan cara pelaksanaan yang paling memperpendek penderitaan. Konsekuensi etis ditempuh dengan memberikan hak pada manusia, untuk menentukan hal terbaik bagi dirinya.

Ada peluang pengembangan teknologi hingga tercapainya AI yang berkesadaran. Mesin yang dilekati kesadaran buatan menuntut diakuinya konsekuensi etis pada seluruh perangkat ini. AI maupun mesin yang mampu merasakan, berhak menentukan hal yang terbaik bagi dirinya. Pertanyaannya: siapkah manusia? Siapkah manusia menghadapi perangkat yang mengeluhkan pekerjaannya yang membosankan, sehingga minta diganti pekerjaan lain? Siapkah manusia bernegosiasi dengan perangkat yang meminta pembatasan jam kerja, karena merasa lelah? Dapatkan manusia memenuhi tuntutan perangkat yang berserikat untuk menjamin kesejahteraannya? Siapkah manusia menghadapi tuntutan kesetaraan manusia-perangkat, tanpa adanya diskriminasi? Jangan-jangan dengan konsekuensi etis itu, manusia urung dengan cita-cita mengembangkan perangkat berkesadaran? Bisa jadi. (E-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |