
INDEKS harga saham gabungan atau IHSG di lantai PT Bursa Efek Indonesia terus menunjukkan tren pelemahan. Perusahaan sekuritas, Mirae Asset Sekuritas Indonesia mencatat IHSG melemah 1,8%, dan ditutup pada level 6.485,5 pada perdagangan Kamis (27/2).
Sejak peresmian Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pada Senin lalu (24/2), IHSG telah melemah hampir 5%.
"IHSG terus mencatatkan tren negatif," tulis tim research Mirae Asset Sekuritas Indonesia dalam keterangannya, Jumat (28/2).
Sepanjang bulan Februari, aliran modal asing yang keluar dari Indonesia (capital outflow) mencapai Rp19 triliun. Angka ini dilaporkan lebih tinggi dibandingkan aliran masuk (inflow) Surat Berharga Negara (SBN) yang tercatat sebesar Rp706 juta.
Masih terus keluarnya investor asing dan melemahnya nilai tukar rupiah ke level Rp16.450 per dolar Amerika Serikat (AS), menunjukkan bahwa kondisi pasar masih penuh dengan ketidakpastian.
Pasar disebut belum memiliki optimisme terhadap prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang akan banyak berdampak kepada kinerja perusahaan.
Sementara, dalam dua hari terakhir, ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan AS atau fed fund rate (FFR) lebih banyak cenderung mengalami peningkatan seiring perkembangan data ekonomi AS yang menunjukkan pelemahan. Indeks Dollar (DXY) tercatat stabil di bawah 107 dalam 5 hari terakhir dan imbal hasil US Treasury (UST) tenor 10 tahun terus mengalami penurunan dan kemarin ditutup pada level 4,27%. Di sisi lain, perkembangan ekonomi AS tersebut menyebabkan tren penurunan Dow Jones dan S&P500 sejak pekan lalu.
"Pasar masih cenderung bersifat berhati-hati, apalagi ketidakpastian global masih tinggi untuk melihat jelas arah ekonomi ke depan," ungkap tim research Mirae Asset Sekuritas Indonesia.
Di tengah ketidakpastian pasar, Bank Indonesia (BI) diminta melakukan kebijakan yang lebih pro-growth atau pro pertumbuhan untuk meningkatkan optimisme pasar. Serta, membuka kemungkinan akan penurunan suku bunga di bulan Ramadan ataupun di kuartal II 2025, yang biasanya tidak lazim dilakukan karena efek inflasi dan peningkatan permintaan valas secara musiman. Hal ini dilakukan untuk mendorong optimisme terhadap prospek pertumbuhan Indonesia. (Ins/I-1)