
SEJUMLAH advokat menggugat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon menilai muatan Pasal 8 Ayat (5) dapat memberikan imunitas absolut kepada jaksa sehingga berpotensi menghambat pengawasan dan meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang.
“Pasal ini menimbulkan imunitas yang absolut bagi jaksa sehingga kontrol atau pengawasan terhadap kerja-kerja jaksa sulit dilakukan. Hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang, praktik ‘super power’, hingga tindak pidana korupsi,” kata kuasa hukum pemohon, Ibnu Syamsu Hidayat di ruang sidang MK, Rabu (5/3).
Atas dasar itu, Ibnu meminta MK agar diberikan batasan yang jelas atas hak imunitas yang melekat pada aparat penegak hukum.
Diketahui, Pasal 8 Ayat (5) menyatakan, 'Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.'
Selain itu, Ibnu menyampaikan bahwa ketentuan pasal tersebut memberikan imunitas absolut kepada jaksa sehingga berpotensi menghambat pengawasan dan meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang.
Ibnu juga membandingkan hak imunitas jaksa dengan imunitas advokat yang diatur dalam Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal tersebut menyebutkan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk membela klien di pengadilan.
Menurutnya, konsep hak imunitas jaksa juga harus memiliki batasan serupa untuk menjaga prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law).
“Frasa ini sangatlah karet dan tidak berkepastian hukum. Mudah saja dengan adanya Pasal tersebut, suatu hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh jaksa, kemudian didalilkan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,” tegasnya.
Untuk itu, Ibnu menyampaikan berbagai argumen terkait tinjauan umum hak imunitas, praktik penerapannya di Indonesia, serta risiko hak imunitas tanpa batas yang dapat berujung pada impunitas.
“Berdasarkan hal tersebut, para pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan. Para pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945,” tuturnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh meminta pemohon untuk memperbaiki permohonan agar lebih sistematis dan komprehensif. Terutama dalam menjelaskan kedudukan hukum pemohon serta hubungan sebab-akibat yang menimbulkan kerugian konstitusional sebagai advokat.
“Syarat dalam menentukan kerugian dan/atau kewenangan konstitusional harus dijelaskan secara komprehensif. Saat ini, pemohon hanya menguraikan kedudukannya sebagai warga negara yang berprofesi sebagai advokat, tetapi belum dijelaskan lebih lanjut mengenai kerugian yang dialami,” ujar Daniel.
Di akhir sidang, majelis hakim memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan permohonan diterima oleh MK paling lambat pada Selasa (18/3). (Dev/P-2)