
Anggota Komisi III DPR RI Rudianto Lallo menyebut mafia tanah hingga saat ini masih bebas bermain di seluruh wilayah Indonesia. Biasanya para mafia tersebut bermain di lahan yang mempunyai nilai ekonomis. Hal tersebut ia lontarkan untuk menanggapi sengketa tanah antara Pemerintah Daerah (Pemda) Buleleng dengan warga Baru Ampar, Desa Pejarakan, Kabupaten Buleleng, Bali. Ia mengatakan banyak mafia tanah yang menguasai instansi negara, mulai dari Badan Pertanahan hingga pengadilan. Bahkan, para mafia bisa membayar penegak hukum.
"Kekuatan mafia tanah ini kan finansial yang bisa dipikirkannya, bisa membayar aparat penegak hukum. Karena sengketa di pengadilan itu panjang, inilah yang merugikan warga biasa kita. Masyarakat biasa yang tidak punya jabatan dan tidak punya finansial," kata Rudi ketika dihubungi, Senin (3/3).
Rudi mengkritisi kinerja Satgas Anti Mafia Tanah yang selama ini dianggap tidak bekerja maksimal memberantas para mafia tanah. Rudi menilai seharusnya Satgas harus peduli kepada rakyat kecil.
"Seharusnya hukum itu berpihak kepada rakyat kecil. Bukan malah sebaliknya. Kalau itu dijadikan doktrin pemerintah, partai-partai mafia bisa hilang. Tapi kalau sebaliknya berpihak kepada pemodal atau yang punya finansial, maka celakalah rakyat kita," tegasnya.
Untuk itu kata Rudi, pemberantasan mafia tanah harus mulai dari organisasi yang mengurus tanah tersebut. Dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Mafia tanah itu melibatkan abdi negara yang mengurus tanah. Siapa yang berwenang itu, BPN. Nah, sekarang sengketa persoalan sengketa tanah hari ini bermula dari persoalan administrasi atau surat. Kalau mau berantas mafia tanah, harus diberantas dari organisasi yang mengurus tanah, yaitu BPN," tukasnya.
Diketahui, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar Nomor 16/G/2024/PTUN.DPS tanggal 6 Agustus 2024. Sengketa dengan Nomor 47/B/2024/PT.TUN.MTR itu melibatkan Pemda Buleleng sebagai pembanding dan terbanding adalah masyarakat Desa Pejarakan, Kabupaten Buleleng, yang diwakili oleh warga bernama Marsito, Matramo, Nawawi, Samsul Hadi, Rahnawi dan Jumrati.
Dalam amar putusannya, Hakim PTTUN memerintahkan supaya membatalkan keputusan Tata Usaha Negara yang mengesahkan Sertipikat Hak Pengelolaan Nomor 00001 yang diterbitkan Kantor Pertahanan (Kanta) Buleleng tanggal 25 November 2020 dengan Surat Ukur Nomor 70/TN/B/1971, tanggal 28 Desember 1971, Seluas 450.000 M2 atas nama Pemda Buleleng. Selanjutnya PTTUN memerintahkan kepada Kantor Pertanahan Buleleng supaya memperoses permohonan sertipikat yang dimohonkan warga atas tanah seluas 80.000 M2 dari luas 450.000 M2 tersebut.
Diketahui, tanah tersebut sebelumnya tempat penambakan ikan dan garam lokal masyarakat setempat. Namun pada tahun 1975, diambil alih pemerintah menjadi tanah negara dengan Hak Pengelolaan (HPL) Nomor 1/Desa Pejarakan atas nama Pemda Buleleng yang diberikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK 3/HPL/DA/75 tanggal 17 Maret 1975.
Kemudian Pemda membagi tanah tersebut untuk kepentingan proyek pengapuran dengan luas 450 ribu M². Sementara sebagiannya diserahkan kepada investor yaitu PT BCP. Warga setempat tidak terima dengan perampasan sepihak tersebut. Pada tahun 2010 silam, mereka menggugat Pemda Buleng ke Pengadilan Negeri Singara yang terdaftar dengan nomor perkara 59/PDT.G/2010/PN.SGR., tanggal 17 Juni 2010.
Perjuangan warga tersebut pun tak sia-sia. PN Singaraja dalam amar putusannya memerintahkan kepada Pemda dan pengelola supaya menyerahkan tanah tersebut kepada warga. Juru bicara (Jubir) warga, Gede Kariasa mengaku pihak telah lama berjuang merebut kembali tanah yang sekian lama di serobot mafia tanah. Bahkan awal penolakan, salah satu warga rela gantung diri lantaran tak mau tanahnya diserahkan kepada orang yang tak bertanggungjawab.
"Namanya Pan Dayuh. Dia tak mau tanahnya hilang. Sebab tanah tersebut warisan orangtuanya yang sudah turun-temurun. Namun kami kalah dengan orang yang berduit," tegasnya.
Dia pun meminta kepada Presiden Prabowo Subianto supaya memberikan atensi khusus terhadap masyarakat yang tanahnya diserobot tanpa alas hak. Padahal para mafia tersebut hanya berlindung dibalik kekuasaan.
"Putusan ini menjadi angin segar bagi kami. Setidaknya perjuangan kami selama bertahun-tahun ada jawabannya. Kami 54 warga Desa Penjarakan menyambut baik keputusan tersebut," pungkasnya.