
SEBANYAK 190.000 dukungan datang dari berbagai belahan dunia untuk menuntut adanya perlindungan dan penghentian eksploitasi ekosistem Batang Toru. Dukungan yang digalang melalui tantangan petisi ini diserahkan secara langsung oleh WALHI Sumatera Utara bersama WALHI Nasional dan Satya Bumi yang tergabung dalam Aliansi Tolak Tambang Martabe (Lantam) kepada Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, dan pimpinan Agincourt di Jakarta pada Kamis (27/2/2025).
Selain menyampaikan petisi, WALHI dan Satya Bumi juga melakukan aksi kreatif untuk menarik perhatian publik agar ikut mendukung gerakan penyelamatan Orangutan Tapanuli dan Biodiversitas di Ekosistem Batang Toru.
Direktur WALHI Sumatera Utara, Rianda Purba mengatakan kekhawatiran atas dampak lingkungan yang diakibatkan oleh tambang emas Martabe. Rianda menyoroti aktivitas tambang yang menyebabkan kerusakan yang sangat besar pada ekosistem Batang Toru dan mengancam kelangsungan hidup Orangutan Tapanuli, salah satu spesies paling langka di dunia.
"Tambang emas Martabe terletak di jantung Ekosistem Batang Toru, yang merupakan habitat terakhir bagi Orangutan Tapanuli. Dengan populasi yang kurang dari 800 individu, spesies ini sangat rentan terhadap kepunahan," kata Rianda dalam keterangan tertulisnya, Jumat (28/2/2025).
Menurut pantauan WALHI Sumatera Utara, dalam 15 tahun terakhir, deforestasi di sekitar tambang telah mencapai lebih dari 114 hektar, menghilangkan hutan yang merupakan habitat penting bagi Orangutan Tapanuli.
Selain di Jakarta, aksi juga dilakukan serentak di Medan, Sumatera Utara di depan kantor United Tractors, dengan tuntutan yang sama.
Sementara itu, Friends of the Earth (FoE) dan Ekō yang tergabung dalam koalisi internasional, menyampaikan petisi secara langsung kepada Jardine Cycle & Carriage Limited di London, Inggris. Jardine Cycle & Carriage Limited adalah perusahaan induk yang memiliki PT Agincourt Resources, perusahaan yangmengoperasikan tambang emas Martabe di Sumatera Utara.
"Hari ini, 190.000 orang dari seluruh dunia mengirimkan pesan yang sangat jelas dan mendesak kepada Jardine Matheson dan Martabe bahwa tidak ada jumlah emas yang sebanding dengan risiko terhadap masa depan orangutan paling langka di dunia. Orangutan Tapanuli bukan sekadar simbol, tetapi bukti nyata bahwa kehancuran keanekaragaman hayati akibat keserakahan korporasi bukanlah ancaman yang jauh di masa depan. Dari Jakarta hingga London dan di berbagai belahan dunia, masyarakat menuntut korporasi seperti Jardine Matheson untuk bertanggung jawab dalam melindungi alam. Jardine Matheson harus mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan orangutan Tapanuli sebelum terlambat," kata Fatah Sadaoui, Direktur Kampanye Ekō.
Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies baru di antara kera besar yang teridentifikasi pada 2017 lalu terus mengalami ancaman besar lantaran dikepung berbagai industri ekstraktif, salah satunya tambang emas Martabe.
Keberadaan Tambang Emas Martabe yang berlokasi di Kabupaten Tapanuli Selatan memperburuk kondisi lingkungan dan merusak habitat alami Orangutan Tapanuli serta mengganggu keseimbangan ekosistem Batang Toru. Ekspansi tambang ini juga menyebabkan deforestasi yang signifikan.
Orangutan Tapanuli merupakan spesies yang paling terisolasi di Pulau Sumatera, hanya ditemukan di lanskap Batang Toru yang mencakup wilayah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Berbeda dari Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), Orangutan Tapanuli memiliki karakteristik unik, namun sangat rentan dengan populasi kurang dari 800 individu. Dengan status 'Critically Endangered' menurut IUCN, keberadaan spesies ini sangat terancam akibat hilangnya habitat yang disebabkan oleh deforestasi.
Saat ini, PT Agincourt Resources (AR), operator tambang emas Martabe, tengah berencana membuka lokasi penimbunan atau Tailing Management Facility (TMF) baru di wilayah utara konsesi. Pembukaan ini tentu akan berdampak buruk pada Ekōsistem Batang Toru. Berdasarkan penelusuran dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT AR, total luas TMF mencapai 195,2 hektare.
Pembangunan area TMF yang baru juga membutuhkan berbagai fasilitas tambahan yang akan membuka hutan di area Ekosistem Batang Toru, seperti pembangunan TMF RoadDevelopment (9,17 ha), Sedimen DAM TMF (86,90 ha), dan Buffer Area (291,73 ha). Sehingga total rencana lahan yang akan dibuka seluas 583 hektar. Proses pembangunan fasilitas TMF akan dilakukan secara berkala dan dalam waktu yang panjang. Kondisi ini akan memperkecil fragmentasi atau pemisahan habitat yang akan meningkatkan kepunahan satwa.
Berdasarkan Permen LHK Nomor P.20/2018, lokasi tambang PT AR merupakan lokasi ditemukannya berbagai taksa, baik yang dilindungi atau tidak. Area lokasi tambang merupakan habitat primata langka seperti siamang, simpai dan Orangutan Tapanuli. Homerange orangutan secara umum memerlukan sekitar 15 sampai 20 hektar dengan jelajah harian sekitar 750 sampai 1100 meter perhari. Sehingga, 195,2 hektar pembukaan lahan akan signifikan bagi habitat orangutan.
“Rencana pembangunan TMF walaupun berada di Area Penggunaan Lain (APL), namun secara tutupan lahan ini masih berupa hutan dan termasuk ke dalam key biodiversity area Ekosistem Batang Toru,” kata Juru Kampanye Satya Bumi Riezcy Cecilia Dewi.
Berdasarkan survey biodiversitas yang dilakukan secara bertahap pada tahun 2008, 2013, 2016, dan 2017, lanjut Riezcy, lokasi tambang PT AR merupakan lokasi dengan kepadatanpohon yang tinggi dan terdapat beberapa spesies dilindungi, seperti siamang, simpai, dan orangutan Tapanuli.
“Sedangkan kegiatan penyiapan lahan untuk TMF ini akan membuka area berhutan menjadiarea terbuka, sehingga ini akan berdampak terhadap pengurangan habitat orangutan, yang dapat menimbulkan kepunahan dalam jangka panjang,” tegas Riezcy.
Dampak lainnya juga berupa penghilangan tutupan vegetasi dan struktur komposisi spesiesflora terrestrial akibat pembukaan lahan, dan hilangnya habitat fauna serta satwa dilindungi. Potensi kehilangan pohon untuk kebutuhan pembangunan TMF yaitu sekitar 185.884 pohon.
Pembukaan area baru untuk TMF PT AR juga diproyeksikan akan merusak sumber air, mulai dari perubahan pola aliran sungai, peningkatan limpasan air permukaan, penurunan kualitas air permukaan dan permukaan air tanah.
"Wilayah kerja perusahaan tambang tumpang tindih dengan hulu lima DAS utama yang menjadi sumber air bagi hampir 100.000 orang. Kerusakan ini berdampak langsung pada kualitas air dan ketahanan pangan masyarakat lokal," imbuhnya.
Perubahan AMDAL PT AR terjadi sejalan dengan rencana perubahan target produksi bijih emas tahunan, dari yang awalnya 6 juta ton per tahun menjadi 7 juta ton per tahun. Peningkatan jumlah produksi membuat PT AR membutuhkan wilayah penimbunan yang lebih luas. Dalam AMDAL sebelumnya, area TMF tidak ada, sehingga ini merupakan area baru yang membutuhkan lahan baru juga.
Berdasarkan analisis AMDAL PT AR dan rencana pembukaan area TMF baru yang akan membuka tutupan hutan juga habitat satwa dilindungi, Lantam berharap ada peninjauan kembali dampak negatif yang timbul akibat aktivitas PT AR. Selain itu, ada beberapa catatan yang dapat dijadikan landasan untuk peninjauan kembali AMDAL baru PT AR, yaitu kelemahan analisis biodiversitas, karena pendekatannya masih terbatas pada pencatatan spesies tanpa mengkaji peran ekologis dari masing-masing spesies. Meskipun dokumen AMDAL mengidentifikasi dampak penting hipotetik (DPH) yang lebih berfokus pada hidrologi, kualitas air, dan biologi, tetapi muaranya tetap pada persepsi masyarakat, yang bisa menyebabkan analisis kurang objektif.
Meskipun 96% warga dari 15 desa menyatakan penambangan PT AR menguntungkan ekonomi. Namun dalam banyak kasus, masyarakat lokal berada dalam posisi ekonomi yang rentan, sehingga mereka lebih mudah menerima proyek yang menawarkan manfaat ekonomi tanpa mempertimbangkan konsekuensi lingkungan yang lebih luas.
Dokumen AMDAL menyimpulkan bahwa kegiatan pertambangan dapat dilakukan dengan strategi mitigasi yang dianggap memadai. Namun, kurangnya kajian terhadap risiko jangka panjang, termasuk potensi kegagalan infrastruktur (bendungan limbah, pengelolaan air)serta konsekuensi ekologis yang mungkin baru terlihat setelah bertahun-tahun.
Kerusakan yang terjadi di ekosistem ini dapat berdampak luas, tidak hanya pada keanekaragaman hayati tetapi juga pada kehidupan masyarakat adat dan komunitas lokal yang bergantung pada hutan ini.
“Ekosistem Batang Toru bukan hanya rumah bagi orangutan dan biodiversitas lainnya, tetapi juga sumber penghidupan bagi ratusan ribu rakyat yang hidup bergantung dari hutan dan air di lanskap Batang Toru. Ada setidaknya 1200 hektar sawah yang bergantung dari air yang bersumber dari hutan Batang Toru, terancam hilang. Hal ini sangat kontradiktif dengan program swasembada pangan pemerintah.
Maka jikalah presiden menganggap program swasembada pangan dari tangan petani benar-benar prioritas, harusnya presiden berani untuk mengevaluasi dan mencabut izin perusahaan yang beraktivitas di landscape Batang Toru,” kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.
Upaya pengembalian kondisi Ekosistem Batang Toru melalui revegetasi dan rehabilitasi tidakakan bisa mengembalikan kondisi biodiversitas seperti semula. Analisis Aliansi Lantam juga menilai sekalipun berbagai pendekatan teknologi dikerahkan, tetap tidak akan mampu mengembalikan kondisi Ekosistem Batang Toru.
Sebaliknya, hilangnya habitat akibat deforestasi dapat menyebabkan penurunan populasi orangutan secara drastis dalam beberapa dekade saja. Dengan laju perusakan yang lebih cepat dibandingkan proses pemulihan, ada risiko besar bahwa orangutan bisa punah sebelum Ekosistemnya dapat pulih kembali.
TUNTUTAN
Pertama, Kami menuntut agar Tambang PT. Agincourt segera menghentikan semua eksplorasi dan eksploitasi di wilayah orangutan Tapanuli, terutama di Area Keanekaragaman Hayati Kunci (KBA) dan Area Nol Kepunahan (AZE). Wilayah-wilayah ini adalah habitat kritisyang sangat penting untuk kelangsungan hidup spesies yang terancam punah, dan setiap kegiatan industri di sana telah berakibat fatal bagi Ekōsistem.
Kedua, Kami mendesak agar Tambang PT. Agincourt menghentikan deforestasi di area tambang dan mengurangi area Kontrak Karya PT Agincourt Resources yang mencakup 30.629 hektar. Banyak dari area ini tumpang tindih dengan hutan lindung di Tapanuli Utara,Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, yang seharusnya dilindungi dari aktivitas pertambangan dan kegiatan industri lainnya yang merusak.
Ketiga, Kami menuntut penerapan kebijakan Tanpa Deforestasi, Pengambilan Gambut(NDPE) yang sudah diberlakukan oleh anak perusahaan Jardine lainnya, Agro Astra Lestari agar diterapkan di seluruh operasi PT Agincourt Resources. Kebijakan ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada lagi hutan yang hilang akibat kegiatan tambang.
Keempat, Kami menyerukan penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak-hak komunitas lokal di sekitar Batang Toru.
Kelima, Kami meminta agar Pemerintah menghentikan kontrak karya PT. Agincourt dan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi. (H-1)