
DALAM kunjungan perdananya ke kawasan Teluk, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani kesepakatan senjata senilai US$142 miliar dengan Arab Saudi. Kesepakatan ini disebut disebut Gedung Putih sebagai “perjanjian penjualan pertahanan terbesar dalam sejarah.”
Kesepakatan ini menjadi sorotan utama dari rangkaian kunjungan empat harinya yang bertujuan mendorong kerja sama ekonomi dan mengukuhkan pendekatan luar negeri berbasis transaksi.
Suriah
Selain kesepakatan senjata, Trump juga dijadwalkan bertemu dengan pemimpin baru Suriah, Ahmed al-Sharaa, mantan komandan pemberontak yang berhasil menggulingkan Bashar al-Assad pada tahun 2024. Pertemuan ini akan menjadi yang pertama antara pemimpin AS dan Suriah sejak tahun 2000, ketika Presiden Bill Clinton bertemu Hafez al-Assad di Jenewa.
Berbicara dalam sebuah forum investasi di Riyadh, Trump mengungkapkan niatnya untuk mencabut sanksi terhadap Suriah setelah diskusi dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdo?an. “Saya akan memerintahkan penghentian sanksi terhadap Suriah demi memberi mereka peluang menuju kejayaan,” kata Trump.
Sharaa dikabarkan menawarkan akses terhadap sumber daya minyak Suriah, kontrak rekonstruksi, hingga rencana pembangunan Trump Tower di pusat kota Damaskus sebagai imbalan atas pencabutan sanksi. Tim Sharaa di Damaskus bahkan telah merayakan pencapaian ini, dengan membagikan desain awal gedung Trump Tower Damascus.
Investasi
Fokus utama dari kunjungan ini adalah pada kepentingan bisnis. Putra Mahkota Arab Saudi berjanji akan berinvestasi hingga US$600 miliar di ekonomi AS. Rencana tersebut mencakup US$20 miliar untuk pusat data kecerdasan buatan, pembelian turbin gas senilai US$14,2 miliar, pesanan pesawat Boeing 737-8 hampir $5 miliar, dan berbagai kerja sama lainnya. Namun, rincian dari angka-angka tersebut masih belum sepenuhnya jelas dan beberapa proyek sudah dimulai sejak era pemerintahan Joe Biden.
Trump juga disambut meriah oleh kerajaan Arab Saudi. Pesawat Air Force One dikawal jet tempur F-15 saat tiba di Riyadh. Trump menghadiri pertemuan di Istana Al Yamamah bersama Raja Salman, didampingi para petinggi bisnis dari AS dan Arab Saudi, termasuk Elon Musk, Sam Altman (OpenAI), serta CEO dari IBM, BlackRock, Citigroup, Palantir, dan Nvidia.
Menariknya, kunjungan ini turut diwarnai tawaran kontroversial dari keluarga kerajaan Qatar berupa pesawat mewah Boeing 747-8 untuk Trump. Pesawat ini disebut akan digunakan sementara sebagai pengganti Air Force One dan kemudian menjadi bagian dari perpustakaan presiden Trump setelah ia lengser. Tawaran ini menuai kecaman dari kubu Demokrat, yang menyebutnya sebagai hadiah paling mewah dari pemerintah asing kepada seorang presiden AS.
Israel
Kebijakan luar negeri Trump dinilai semakin berorientasi pada keuntungan ekonomi domestik ketimbang aliansi tradisional atau hukum internasional. Ia bahkan tidak menjadwalkan kunjungan ke Israel – sekutu utama AS di kawasan – karena situasi perang di Gaza serta hubungannya yang kurang harmonis dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Dalam pidatonya, Trump menyatakan bahwa pengakuan diplomatik Arab Saudi terhadap Israel melalui Kesepakatan Abraham masih membutuhkan waktu, terutama karena dampak perang yang sedang berlangsung. “Hari itu akan menjadi hari bersejarah bagi Timur Tengah, dan seluruh dunia akan menyaksikannya,” ujar Trump.
Uni Emirat Arab
Usai dari Arab Saudi, Trump dijadwalkan melanjutkan perjalanan ke Uni Emirat Arab dan Qatar, dengan agenda diplomasi yang kembali menitikberatkan pada kesepakatan investasi bernilai besar. Pendekatan ini juga tampak dalam tawaran dari Suriah yang mencakup normalisasi hubungan diplomatik, zona demiliterisasi di sekitar Dataran Tinggi Golan, serta kerja sama ekonomi serupa dengan kesepakatan sumber daya mineral di Ukraina.
Perjalanan Trump ini mencerminkan arah baru kebijakan luar negeri AS yang dipersonalisasi dan penuh nuansa bisnis – sebuah pola yang terus menuai pujian sekaligus kritik dari berbagai pihak. (The Guardian/Z-2)