
KEMENTERIAN Kesehatan (Kemenkes) saat ini tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Kesehatan. Namun, proses penyusunan regulasi tersebut menuai polemik karena dugaan adanya intervensi asing dalam proses perumusan kebijakan, terutama masuknya poin tentang kebijakan kemasan rokok polos yang selama ini dikampanyekan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) antitembakau.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmudji menyayangkan langkah Kemenkes yang dinilainya tak melibatkan elemen pertembakauan, baik petani, pelaku industri, maupun pemangku kepentingan lainnya, dalam proses penyusunan kebijakan turunan dari PP No 28/2024.
Agus menilai keterlibatan lintas sektor sangat penting agar regulasi yang dihasilkan tidak bias dan mampu mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat secara adil.
"Sebenarnya yang dilibatkan hanya orang-orang dari kalangan kesehatan. Marwah dari penyusunan sebuah peraturan, entah itu undang-undang, peraturan pemerintah, maupun regulasi turunannya, semestinya melibatkan semua elemen terkait," ucapnya, Selasa (13/5).
Ia menyebut Kemenkes justru lebih memilih mengakomodasi aspirasi LSM ketimbang mendengarkan masukan para pemangku kepentingan di sektor industri hasil tembakau (IHT).
Hal ini, sambung Agus, terbukti dengan masuknya poin tentang kemasan rokok polos ke dalam Rancangan Permenkes tersebut. Kebijakan tentang kemasan rokok polos termuat di Artikel 11 dalam Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control), yang sampai dengan saat ini tidak diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.
"Indonesia sendiri walaupun tidak meratifikasi FCTC, tetapi untuk aturan-aturan selama ini hampir mengadopsi FCTC tersebut. Kata-kata yang selama ini disampaikan oleh pemerintah pusat bahwa kita tidak akan meratifikasi FCTC, tetapi kenyataannya di beberapa peraturan mengadopsi pasal-pasal tersebut. Jadi sama saja, artinya ini tidak sesuai dengan apa yang disampaikan pemerintah pusat. Kalau memang tidak mau meratifikasi, jangan mengadopsi pasal-pasal yang ada di FCTC," ungkap Agus.
Oleh karena itu, sebagai industri yang banyak menyerap tenaga kerja dan bahan baku dalam negeri dalam proses produksi, Agus berharap IHT mendapatkan perlindungan dari pemerintah.
"Kalau ini tidak dipertahankan, karya-karya petani tembakau akan hilang dan tinggal cerita," ujar Agus.
Pada kesempatan terpisah, Juru Bicara Komunitas Kretek Khoirul Atfifudin menambahkan, keberadaan dan masa depan industri hasil tembakau nasional dalam ancaman serius akibat intervensi sejumlah LSM yang mendapat dukungan dana dari pihak asing.
Ia menyampaikan, intervensi semacam ini bukan hanya melemahkan posisi petani lokal, tetapi juga mencerminkan bentuk baru penjajahan yang menyusup lewat kebijakan dan regulasi yang tidak berpihak pada kepentingan dalam negeri.
"Presiden Prabowo bicara kedaulatan, tapi kebijakan seperti PP No 28/2024 dan Rancangan Permenkes justru mengancam industri tembakau nasional," tutur Khoirul.
Dirinya menambahkan bahwa keterlibatan pihak asing dalam penyusunan regulasi sektor IHT sangat merugikan Indonesia, mulai dari penurunan pendapatan petani, melemahnya industri lokal, hingga hilangnya lapangan kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi nasional.
"Pemerintah harus berpikir adil, jangan mau disetir oleh asing dengan mengamini segala hal yang disampaikan oleh asing. Selain dampak ekonomi, agenda lembaga asing ini juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Petani tembakau, buruh pabrik, warung kecil, dan jutaan pekerja bergantung pada industri tembakau yang telah berjalan ratusan tahun," pungkasnya. (Fal/E-1)