
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump melakukan kunjungan ke tiga negara kaya minyak di Timur Tengah, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Kunjungan selama tiga hari (13-16 Mei) itu sangat bermakna mengingat ini perjalanan luar negeri perdana Trump setelah menjadi Presiden AS untuk kedua kalinya.
Israel tidak ada dalam daftar negara tujuan dari kunjungan Trump ke Timur Tengah sekarang. Ini bisa jadi sebuah strategi, tapi juga bisa jadi sebuah ironi bagi Israel, terlebih lagi Israel sejauh ini menjadi negara asing pertama yang pemimpinnya diterima Trump di Gedung Putih setelah dilantik pada 20 Januari lalu.
Di sini tampak ada dinamika negatif dalam hubungan Trump dengan Netanyahu yang semakin hari semakin terbuka luas. Bahkan, dengan merujuk pada sumber orang-orang terdekat Trump dan Netanyahu, sebagian media di Timur Tengah menyebut hubungan kedua pemimpin dalam kondisi paling rendah, bahkan Trump diberitakan memutus komunikasi (qat’ul ittishal) dengan Netanyahu (Aljazeera.net, 9/5).
Dalam perkembangan terbaru, Trump mengumumkan gencatan senjata dengan Houthi secara sepihak (tanpa melibatkan Israel). Sementara itu, dalam konteks Iran, AS berupaya melanjutkan perundingan yang ada. Semua perkembangan ini (sebagaimana diakui oleh sebagian sumber) menjadi kabar buruk bagi Israel karena justru berbalik arah dengan kebijakan yang diharapkan oleh Netanyahu. Bahkan pembebasan sandera tentara Israel berkebangsaan AS, Edan Alexander, oleh Hamas kemarin (12/5) mengabaikan Netanyahu, baik dari sisi Hamas maupun dari sisi AS.
MANUVER TRUMP
Bagaimana memahami perkembangan politik Timur Tengah mutakhir, terutama dalam bayang-bayang kebijakan Trump yang penuh misteri tapi sangat menentukan? Dalam hemat penulis, apa yang dilakukan oleh Trump merupakan sebuah manuver untuk mendapatkan atau mengamankan kepentingan AS, khususnya kepentingan ekonomi yang menjadi perhatian utama Trump. Di sisi lain, kebijakan perang yang dilakukan Israel justru dianggap mulai mengganggu kepentingan ekonomi AS.
Meski demikian, apa pun perkembangannya, rasanya tidak mungkin Trump meninggalkan Netanyahu dan Israel, alih-alih memusuhinya. Hal terjauh ialah, melalui kebijakan-kebijakan sepihaknya terkait Timur Tengah (seperti dalam konteks Houthi, perundingan dengan Iran, bahkan pembebasan Alexander), Trump mencoba memaksa Netanyahu untuk memilih jalan perdamaian daripada peperangan. Paling tidak, Trump mencoba memaksa Netanyahu agar tidak selalu mengambil kebijakan yang ‘menguras’ anggaran AS.
Dengan kata lain, di balik kebijakan Trump yang mendukung Israel dengan sangat kuat, ada batasan yang tidak disampaikan secara langsung, yakni kepentingan ekonomi AS. Manakala kebijakan yang diambil Israel (dalam bentuk perang yang berkepanjangan, bahkan cenderung meluas seperti ke Suriah dan Yaman) mengancam kepentingan ekonomi AS, maka Trump memilih untuk mengutamakan kepentingan AS dengan semangat America First yang sangat ditekankan. Dan, dalam konteks membangun sekaligus membela kepentingan ekonomi AS, Trump meletakkan seluruh negara di posisi yang sama; harus menguntungkan AS, termasuk Israel.
Inilah yang bisa menjelaskan kenapa Trump juga memberlakukan kebijakan tarif cukup tinggi kepada Israel (17%). Padahal selama ini AS sangat dekat dengan Israel. Bahkan ada yang mengatakan Israel seperti AS kecil, sebagaimana AS tak ubahnya Israel besar.
Dalam hemat penulis, inilah yang membuat Netanyahu harus kembali berkunjung ke AS pada awal Maret kemarin (7/3), padahal tak lama sebelumnya dia sudah berkunjung ke AS pascapelantikan Trump. Menurut sebagian sumber, kunjungan dan pertemuan Netanyahu-Trump yang kedua tak lepas dari kebijakan tarif yang juga diberlakukan Trump kepada Israel. Mengingat ekonomi Israel tidak sedang baik-baik saja setelah terlibat dalam perang panjang sekaligus multifront seperti sekarang.
BENTURAN KEPENTINGAN
Pada tahap tertentu, kepentingan Trump dan Netanyahu tampaknya tak lagi sejalan, justru bertabrakan. Kepentingan Netanyahu bisa mengancam kepentingan Trump; mengamankan ekonomi AS. Pun demikian sebaliknya, kepentingan Trump bisa menghancurkan kepentingan Netanyahu: melanjutkan perang sekaligus melanjutkan kepemimpinannya.
Persoalannya, dalam konteks Timur Tengah secara umum, keputusan dan kepentingan AS masih menjadi faktor yang paling menentukan, termasuk terhadap Israel. Dengan kata lain, manakala kepentingan AS menginginkan perang Gaza berakhir, maka besar kemungkinan ini pula yang akan terjadi, bahkan walaupun hal itu ditentang oleh Israel sekalipun.
Situasi di Suriah juga menjadi ajang perbedaan antara Israel di bawah kepemimpinan Netanyahu dan AS di bawah kepemimpinan Trump. Sebagaimana kerap disampaikan, Trump menyatakan tidak tertarik untuk terlibat lebih dalam terkait konflik di Suriah setelah lengsernya rezim Assad. Bahkan AS terus mengurangi jumlah tentaranya yang ada di Suriah.
Berbeda dari kebijakan AS, Israel justru tampak semakin ambisius untuk menciptakan Suriah yang lebih aman dan tidak mengancam keberadaan negara Yahudi itu. Dalam perkembangan terakhir, Israel menyerang lokasi dekat Istana Kepresidenan Suriah di Damaskus sebagai peringatan agar pemerintahan Suriah yang baru tidak menyerang kelompok minoritas Druze. Padahal, kelompok Druze sendiri masih terpecah antara pihak yang pro dan kontra soal dukungan oleh Israel.
Perbedaan sikap antara AS dan Israel terkait dengan perkembangan politik di Suriah akhirnya juga menjalar pada perbedaan keduanya dalam konteks pemerintahan Turki di bawah kepemimpinan Erdogan. Sejak Assad meninggalkan Suriah pada 8 Desember 2024 lalu, Trump menyambut baik peran Turki. Beberapa hari setelah Assad lengser, Trump bahkan pernah memuji Erdogan sebagai sosok yang sangat cerdas dan akan memegang kunci perkembangan Suriah ke depan.
Sebaliknya Israel justru tidak bahagia dengan peran Turki yang semakin besar di Suriah seusai lengsernya Assad. Bagi Israel, Suriah dimanfaatkan oleh Turki untuk kepentingan negeri Ottoman itu, termasuk dalam pengembangan persenjataannya yang pada waktunya berarti ancaman bagi Israel. Menurut sebagian sumber di Timur Tengah, ketika pasukan udara Israel menyerang lokasi dekat Istana Kepresidenan Suriah beberapa waktu lalu, pesawat tempur Turki sempat turun tangan secara langsung.
Inilah yang bisa menjelaskan kenapa Trump hanya berkunjung ke tiga negara kaya minyak di atas, kenapa Trump tidak mampir ke Israel. Bahkan ini pula yang bisa menjelaskan, kenapa Trump melakukan gencatan senjata dengan Houthi dan bersepakat dengan Hamas (dalam pembebasan Alexander) tanpa melibatkan Netanyahu.