Dari Sumber Daya Manusia ke Sumber Insani

3 hours ago 2
Dari Sumber Daya Manusia ke Sumber Insani (MI/Duta)

DALAM menyambut bulan pendidikan kali ini, patut kita renungkan kembali cara pandang kita terhadap manusia dalam konteks pembangunan nasional. Selama ini, istilah ‘sumber daya manusia’ atau SDM telah menjadi mantra yang diulang-ulang dalam berbagai dokumen kebijakan, perencanaan strategis, maupun diskursus publik.

Istilah itu tampak netral dan fungsional, tetapi sesungguhnya memuat cara pandang yang reduktif. Manusia sering diposisikan hanya sebagai faktor produksi dalam kerangka ekonomi. Dengan demikian, nilainya diukur dari sejauh mana ia dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, produktivitas industri, dan daya saing global.

Dalam paradigma ini, manusia menjadi objek yang harus dikelola, dilatih, ditingkatkan kompetensinya, dan disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Pendekatan itu tentu memiliki nilai praktis tertentu. Akan tetapi, jika dijadikan satu-satunya orientasi, ia akan mengikis sisi-sisi kemanusiaan yang lebih dalam—seperti nurani, makna hidup, dan tanggung jawab sosial. Istilah ‘sumber daya manusia’ mengandung bias teknokratis yang mengabaikan nilai-nilai spiritual, budaya, dan moral yang melekat dalam diri setiap manusia.

Lebih mengkhawatirkan lagi, pendekatan teknokratis ini telah menyusup ke dalam sistem pendidikan kita. Sekolah dan perguruan tinggi kerap didorong menjadi pabrik pencetak ‘SDM’ tenaga kerja yang siap pakai. Kurikulum dirancang untuk memenuhi standar industri, sementara aspek pembentukan karakter, penguatan etika, dan pengasahan kepekaan sosial sering terpinggirkan.

Pendidikan yang seharusnya menjadi proses pemanusiaan manusia, justru terjebak dalam logika efisiensi dan output ekonomi. Dalam situasi semacam ini, siswa dan mahasiswa lebih dilatih untuk bersaing daripada untuk berkolaborasi; lebih digenjot untuk menguasai keterampilan teknis daripada diajak memahami kompleksitas kehidupan bersama.

Pandemi covid-19 dan krisis iklim global saat ini kiranya menjadi momen reflektif yang sangat penting. Keduanya menunjukkan bahwa keterampilan teknis saja tidak cukup untuk menghadapi kompleksitas zaman. Dunia membutuhkan manusia yang bukan hanya cakap secara intelektual, tetapi juga bijak secara moral, empatik secara sosial, dan sadar secara ekologis.

PARADIGMA BARU

Kita memerlukan paradigma baru dalam memandang manusia dan pembangunan. Karena itu, istilah ‘sumber daya manusia (SDM)’ sudah saatnya ditinjau ulang dan digantikan oleh istilah yang lebih humanistis, yaitu ‘sumber daya insani’ atau lebih tepatnya ‘sumber insani’.

Istilah ‘sumber insani’ mengandung pengertian bahwa manusia bukanlah semata-mata alat produksi, melainkan juga subjek kehidupan yang bermartabat. Manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran, kehendak bebas, akal budi, dan hati nurani. Dalam istilah ini, manusia tidak dipisahkan dari konteks sosial, budaya, dan spiritualnya. Ia dilihat sebagai bagian dari ekosistem kehidupan yang lebih luas dan sakral.

Paradigma ini mengajak kita untuk memulihkan martabat manusia dalam segala aspek pembangunan, baik ekonomi, pendidikan, maupun sosial. Paradigma sumber insani tidak muncul dari ruang hampa. Ia memiliki akar kuat dalam kearifan lokal Nusantara yang sejak lama memandang manusia, alam, dan kehidupan spiritual sebagai satu kesatuan utuh.

Dalam falsafah Jawa, misalnya, dikenal konsep manunggaling kawula lan Gusti, yang mencerminkan hubungan spiritual antara manusia dan Tuhan. Ada pula prinsip memayu hayuning bawana—mewujudkan kesejahteraan dunia melalui keseimbangan, harmoni, dan tanggung jawab terhadap sesama makhluk hidup.

Dalam tradisi Bali, konsep Tri Hita Karana mengajarkan pentingnya keharmonisan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Juga tentu kearifan lokal dari daerah lain di Nusantara ini. Semua ini menunjukkan bahwa cara pandang holistik terhadap manusia sebenarnya sudah tertanam dalam kebudayaan kita.

KEMBALI KE JATI DIRI

Implikasi dari pergeseran paradigma ini sangat besar. Pendidikan, sebagai fondasi peradaban, harus kembali ke jati dirinya sebagai proses pemanusiaan manusia. Proses ini bukan sekadar transfer pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pembentukan manusia seutuhnya. Pendidikan harus membangun kesadaran moral, etika, estetika, dan spiritualitas. Siswa perlu diajak tidak hanya untuk menguasai materi pelajaran, tetapi juga untuk memahami makna hidup, menghargai keberagaman, dan mengembangkan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan alam.

Dalam konteks ini, kurikulum pendidikan kita perlu direvisi agar tidak semata-mata berorientasi pada kebutuhan pasar tenaga kerja. Kurikulum harus memuat ruang untuk diskusi filsafat, pelatihan empati, eksplorasi seni, serta praktik hidup berkelanjutan. Guru dan dosen tidak cukup hanya menjadi pengajar, tetapi harus berperan pula sebagai pendidik, pendamping/fasilitator, dan teladan moral. Pendidikan yang berbasis kegiatan sosial, kerja lapangan, dan kolaborasi lintas disiplin bisa dijadikan sarana yang efektif untuk menumbuhkan kesadaran kolektif dan tanggung jawab sosial.

Pembangunan nasional pun harus mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan humanistis. Ukuran keberhasilan pembangunan tidak bisa hanya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, atau indeks daya saing. Kita perlu memasukkan indikator baru seperti indeks kebahagiaan, kualitas hubungan sosial, tingkat partisipasi warga, dan keberlanjutan ekosistem.

Pendekatan multidisipliner menjadi sangat penting: sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah hingga seni dan budaya harus mendapat ruang yang setara dengan ilmu ekonomi dan teknologi dalam merancang kebijakan pembangunan.

Paulo Freire dalam karya klasiknya, Pedagogy of the Oppressed (1970), menegaskan bahwa pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menjadikan manusia sebagai subjek, bukan objek. Manusia harus diajak untuk berpikir kritis, memahami kenyataan sosial, dan terlibat aktif dalam perubahan. Gagasan Freire ini sejalan dengan semangat paradigma sumber insani: bahwa manusia bukanlah pelengkap mesin ekonomi, melainkan penjaga kehidupan itu sendiri. Pembangunan yang memuliakan manusia harus dimulai dari pengakuan akan martabat dan potensi setiap individu, apa pun latar belakang sosialnya.

MEMPERBAIKI ORIENTASI

Mengubah istilah dari ‘sumber daya manusia’ menjadi ‘sumber insani’ memang terlihat sederhana. Akan tetapi, perubahan istilah ini menyiratkan pergeseran cara pandang yang mendasar. Kita tidak lagi melihat manusia sebagai objek yang dioptimalkan untuk kepentingan ekonomi, melainkan sebagai subjek yang berhak atas kehidupan yang bermakna, adil, dan bermartabat. Dalam cara pandang ini, pembangunan bukan semata soal angka dan grafik, tetapi juga tentang bagaimana kita merawat kemanusiaan dalam keberagaman dan keberlanjutan.

Sudah saatnya kita merekonstruksi visi pembangunan nasional kita, dengan menempatkan manusia sebagai pusat dan tujuan pembangunan, bukan sekadar sarana. Dengan memuliakan manusia sebagai sumber insani, kita tidak hanya memperbaiki istilah, tetapi juga memperbaiki orientasi dan praksis pembangunan bangsa ini.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |